2 Jul 2015

STRATEGI PENGEMBANGAN BUAH PALA DALAM BISNIS INTERNASIONAL DENGAN MELAKUKAN RIVEUW PADA BEBERAPA ARTIKEL

TANAMAN PALA
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan jenis tanaman perkebunan yang tumbuh baik pada daerah tropis. Tanaman pala merupakan tanaman asli Indonesia karena berasal dari Banda dan Maluku. Tanaman ini terkenal karena biji buahnya yang tergolong rempah-rempah dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Biji dan selaput biji (fuli) merupakan komoditas ekspor Indonesia dan menduduki sekitar 60% dari jumlah ekspor pala dunia (Sunanto, 1993 : 11-13).
Tanaman pala dari jenis Myristica fragrans Houtt adalah tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tumbuh dengan baik di daerah tropis, termasuk famili Myristicaceae yang terdiri atas 15 genus (marga) dan 250 species (jenis). Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala, yaitu :
1)     Myristica fragrans Houtt, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Banda.
2)  M. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot alias pala Papua Barat, asli Papua Barat, khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan-hutan, mutunya di bawah pala Banda.
3)  M. scheffert Warb. terdapat di hutan-hutan Papua.
4)  M. speciosa, terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi.
5)  M. succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi.

Pala sebagai tanaman rempah-rempah dan sumber minyak atsiri, merupakan tanaman penting, karena dapat menghasilkan minyak aeteris dan lemak khusus yang berasal dari biji dan fuli. Kedudukan tanaman pala sebagai bahan penting industri dan sebagai komoditas perdagangan menyebabkan bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan memperebutkan daerah-daerah sumber penghasil pala di Indonesia. Peranan ekspor minyak atsiri Indonesia cukup besar, terutama dalam rangka peningkatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan petani, serta pemanfaatan tanah yang kurang produktif. Industri minyak atsiri Indonesia sebagian besar merupakan industri hulu yang menyediakan bahan baku yang langsung diekspor, sedang industri hilirnya yang mulai berkembang berupa industri kosmetik, flavour, dan fragrant. Industri yang belum berkembang adalah industri antara (intermediate), yaitu industri yang menghasilkan barang setengah jadi untuk bahan baku industri hilir (Rukmana, 2004 : 2).
Tanaman  pala  menghasilkan  dua  produk bernilai ekonomi tinggi yaitu biji pala dan fuli (kembang pala yang menyelimuti biji). Kedua produk ini menghasilkan minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai bahan   baku  industri  minuman, obat-obatan  dan kosmetik.  Lemak   dan minyak atsiri dari fuli merupakan bahan penyedap masakan (saus), bahan pengawet makanan, dan bahan campuran pada minuman ringan. Selain itu minyak pala memiliki potensi sebagai antimikroba atau bioinsectisida   (Bustaman, 2007 : 71).
Bagian tanaman pala yang mempunyai nilai ekonomis adalah bagian buah. Buah pala sendiri terdiri dari 83,3 persen daging buah;3,22 persen fuli; 3,94 persen tempurung biji, dan 9,54 persen daging biji. Biji dan fuli merupakan produk utama dari tanaman pala, yang sebagian besar untuk diekspor. Fungsi dari biji dan fuli pala yang utama adalah sebagai rempah, baik untuk keperluan seharihari maupun untuk industri makanan dan minuman. Daging buah yang muda banyak digunakan untuk makanan ringan dan minuman seperti manisan, permen, sirup dan jus pala. Minyak pala yang diperoleh dari penyulingan biji pala muda, selain untuk ekspor juga merupakan bahan baku industri obat-obatan, pembuatan sabun, parfum dan kosmetik di dalam negeri. Produk lain yang mungkin dibuat dari biji pala adalah mentega pala yaitu trimiristin yang dapat digunakan sebagai minyak makan dan industri kosmetik. Di antara berbagai produk pala, permintaan akan biji dan fuli pala serta minyak atsirinya diperkirakan akan tetap tinggi, disebabkan karena sebagai rempah pala mempunyai citarasa yang khas.

GAMBARAN INDUSTRI PALA

Industri Global

Produksi pala dunia mencapai 25.000 ton per tahun, di mana Indonesia dan Grenada mendominasi produksi dan ekspor (baik untuk biji pala dan fuli), dengan bagian pasar masing-masing negara sebesar 75 persen dan 20 persen. Sisanya dihasilkan dari India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka dan beberapa pulau di Karibia. Granada masih diperhitungkan sebagai pemasok pala dengan kualitas tinggi yang diterima oleh pasar internasional.
Permintaan pala dunia mencapai 20.000 ton per tahun, dengan negara importir utama adalah negaranegara di Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan India. Amerika merupakan pasar terbesar untuk seluruh produk pala. Singapura dan Belanda merupakan negara utama pengekspor ulang (re-exporters).
Harga pala di pasar dunia terus tumbuh tiap tahun sejak lima tahun terakhir. Pada saat permintaan tinggi harga pala bisa mencapai US$16,000-21,000 per ton di pasar internasional.1 Tumbuhnya permintaan pala di pasar dunia diantaranya disebabkan meningkatnya penggunaan pala sebagai bahan baku obat herbal, kosmetik dan produk-produk makanan.2
Rata-rata produktivitas pala dunia mencapai 451 kg/hektar. Produktivitas pala di Indonesia jauh di bawah rata-rata dunia yaitu sebesar 98,9 kg/hektar. Sementara produktivitas pala di Grenada (sebagai negara penghasil pala terbesar kedua setelah Indonesia) mencapai 275,4 kg/hektar.


Industri Pala di Indonesia

Sampai saat ini Indonesia termasuk salah satu negara produsen dan pengekspor biji dan fuli pala terbesar dunia, dengan pangsa pasar dunia sebesar 75 persen. Pasar utama tujuan ekspor pala Indonesia (dari sisi volume) adalah Vietnam, Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Italia. Sementara dari sisi nilai ekspor, Belanda menjadi negara tujuan ekspor dengan nilai tertinggi. Jumlah ekspor Indonesia tahun 2011 mencapai 14.186 ton dengan nilai US$ 135,933. Indonesia juga menguasai 80 persen pangsa pasar Uni Eropa dengan nilai ekspor tahunan 30 juta euro4
dari sentra-sentra produksi di Maluku Utara, Sulawesi Utara, Aceh, Maluku dan Papua Barat. Pala Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat yaitu sekitar 99 persen, dengan cara penanganan pascapanen yang masih tradisional dengan peralatan seadanya dan dilakukan kurang higienis.

TUJUAN
KAJIAN INI DIMAKSUDKAN UNTUK:
       Peningkatan pendapatan petani pala melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam teknik budidaya dan panen yang baik serta penjaminan harga jual.
       Selalu meningkatkan kualitas komoditi Pala.
       mengembangkan usaha lokal yang potensial di Papua Barat
       Mengindentifikasi        kekuatan,         kelemahan,      tantangan        dan      peluang pengembangan            komoditas       terpilih.

PERBANDINGAN HASIL PANEN PALA PADA BERBAGAI SEKTOR
1.      Hasil Panen Pala pada Analisis Usaha dan Strategi Pengembangan Agro Industri Manisan Pala di Kelurahan Aermadidi Minahasa Utara:
Hasil penelitian menunjukan bahwa biaya tetap UD Murni adalah sebesar Rp. 26.043 sedangkan untuk biaya variabel sebesar Rp. 2.567.650  dan untuk penerimaan UD Murni adalah sebesar Rp. 11.975.000. sehingga keuntungan yang diperoleh produsen manisan pala adalah sebesar Rp. 9.631.307 per minggu.

2.      Hasil Analisis BEP Komoditas Minyak Pala di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Ngobo Semarang:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jumlah produksi dan penerimaan dari usaha minyak pala di PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Ngobo selama tahun 2004-2008 telah melampaui titik break even/titik impas dan memperoleh keuntungan. Jumlah produksi pada kondisi impas pada tahun 2004 sampai 2008 secara berturut-turut yaitu 3.045 kg;  4.057 kg; 4.113 kg; 3.549 kg; dan 2.081 kg. Sedangkan besarnya penerimaan pada kondisi impas pada tahun 2004 sampai 2008 secara berturut-turut yaitu Rp 738.322.332,00; Rp 951.438.557,00; Rp 958.647.596,00; Rp 834.010.204,00; dan Rp 840.652.212,00.

BIJI PALA PERANCIS
Dalam market Brief ini akan memfokuskan pada perdagangan biji pala yang masuk dalam kelompok HS : 
 HS 090811 Nutmeg, Neither Crushed Nor Ground
 HS 090812 Nutmeg, Crushed Or Ground 
Wilayah Perancis yang terletak di benua Eropa dan wilayah seberang lautan Perancis (Les territoires français d’outremer) yang tersebar diberbagai belahan dunia, terutama la Martinique dan la Guadeloupe yang memiliki iklan tropis menjadi salah satu potensi Perancis dalam perdagangan biji pala. La Martinique dan la Guadeloupe merupakan penghasil biji pala dari Kepulauan Antilles dan Karibia.  
Perancis pada tahun 2011, dengan kode HS masih  HS 090810 Nutmeg mampu melakukan ekspor biji pala sebanyak 251 Ton dengan nilai perdagangan sebesar 5,365 juta dolar USA. Mulai tahun tahun 2012, eskpor biji pala Perancis dipejualbelikan dalam HS 090811 dan HS 090812. 
Pada tahun 2012, eskpor HS 090812 Perancis mencapai 181 Ton dengan nilai perdagangan mencapai 4,165 juta dolar USA. Dan eskpor HS 090811 mencapai 42 Ton dengan nilai perdagangansebesar 1,282 juta dolar USA. 
Pada tahun 2013, eskpor HS 090812 Perancis mengalami peningkatan sebesar 27% sehingga angka perdagangan mencapai 5,297 juta dolar USA dengan jumlah eskpor sebanyak 223 Ton. Dan sebaliknya eskpor HS 090811 menglami penurunan (-27%) dengan ekspor menjadi 27 Ton dengan nilai perdagangan sebesar 0,934 juta dolar USA.
Pada tahun 2014, Perancis tidak mengawali dengan baik tahun ini dengan ekpor biji pala, baik komoditi HS 090811 dan HS 090812, keduanya mengalami penurunan yang masingmasing sebesar -54,78% dan -38,80% dari perdagangan yang sama pada periode januari 2013 yang nilainya mencapai 0,491 juta dolar USA menjadi  0,301 juta dolar USA pada tahun 2014 untuk HS 090812. Sedangkan                        HS 090811 angka ekspor Perancis menjadi 0,071 juta dolar USA pada januari 2014, setelah sebelumnya mencapai 0,156 juta dolar USA pada periode yang sama tahun sebelumnya
Ekspor biji pala Perancis lebih banyak ditujukan ke negara-negara kawasan Eropa, Inggris merupakan negara tujuan utama untuk ekspor biji pala Perancis. Indonesia tidak termasuk dalam tujuan ekspor biji pala Perancis.
Posisi Indonesia sebagai negara pemasok biji pala di Perancis adalah sebagai negara pemasok utama dengan nilai perdagangan mencapai  49,44% dari nilai total impor HS 090811 Perancis tahun 2013 dengan nilai 0,735 juta USD atau mengalami penurunan (-62,18%) dari nilai perdagangan tahun 2012 yang mencapai 1,942 juta USD. Pada awal tahun 2014, impor biji pala Perancis dari Indonesia mengalami kenaikan sebesar 58,90% dengan nilai perdagangan 0,0540 juta USD.
Pesaing utama Indonesia untuk HS 090811 berasal dari Belanda (0,390 juta USD) , Jerman (0,092 juta USD), Madagaskar (0,066 juta USD) dan Rumania (0,046 juta USD). Transaksi dengan Belanda, Jerman dan Madagaskar mengalami penurunan sedangkan Rumania merupakan negara pendatang baru sebagai pemasok biji pala ke Perancis. 
Negara pemasok lima besar untuk HS 090812 adalah Indonesia, Belanda, Belgia, Jerman dan Vietnam. Indonesia mampu menguasai 63,56% dari total impor HS 090812 dengan nilai perdagangan mencapai 5,950 juta USD pada tahun 2013 atau meningkat 16,23% dari nilai perdagangan tahun 2012 sebesar 5,119 juta USD. Namun diawal tahun 2014, impor Perancis dari Indonesia mengalami penurunan sebesar (-80,7%) dengan nilai impor 0,249 juta USD. Sedangkan pada periode Januari 2013, mencapai 1,290 juta USD.


 Perbandingan Produk Perancis & Indonesia
Indonesia: 
HAMBATAN KOMODITI PALA di DAERAH FAK-FAK
Kondisi ini setidaknya disebabkan oleh tiga hambatan utama dalam dalam rantai nilai pala di Kabupaten Fak Fak, yaitu:
w  Belum adanya tata niaga pala mengakibatkan tidak adanya kepastian harga dan pasokan kebutuhan, serta menimbulkan ketergantungan petani yang sangat besar kepada tengkulak;
w  Kapasitas petani (dalam budidaya yang baik, pengelolaan usaha dan kelembagaan), mengakibatkan rendahnya kualitas, kontinuitas pasokan pala ke para pedagang dan akses ke informasi dan sumber pasar; dan
Minimnya lembaga pendukung bisnis (business supporting system) mengakibatkan lemahnya kapasitas pelaku utama dalam rantai nilai pala.

HASIL KOMODITI INDONESIA

Tabel  Ekspor biji pala Indonesia ke-10 negara tujuan terbesar tahun 2006-2011

Tabel  Sentra area dan produksi pala Indonesia, tahun 2011

* TBM: Tanaman Belum Menghasilkan; TM: Tanaman Menghasilkan; TTR: Tanaman Tua dan Rusak
Sejak tahun 2009 ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa mengalami penolakan disebabkan adanya tuduhan    buah      pala        dari        Indonesia                terkontaminasi aflatoksin,           racun     yang      berasal dari        jamur    yang      tumbuh                pada pala dan merupakan penyebab kanker.
Tabel  Perdagangan pala Kabupaten Fakfak
Perdagangan pala di Kabupaten Fakfak meliputi pala kulit, pala ketok, dan fuli. Pala kulit selalu mendominasi dalam penjualan dikarenakan tidak banyak orang yang bisa mengupas pala kulit menjadi pala ketok. Jumlah perdagangan pala kulit tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 1.224.480 kg, sedangkan pala ketok dan fuli tertinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 338.365 kg untuk pala ketok dan 272.175 kg untuk fuli.




USAHA PENGEMBANGAN
Secara nasional Pemerintah Pusat memberikan dukungan yang cukup besar bagi pengembangan ekonomi di Papua Barat, melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.[1] Peraturan Presiden ini menjadi payung bagi pengembangan sektor dan komoditas unggulan di kedua provinsi, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B)
Secara sektoral beberapa kementerian juga memberikan dukungan dalam bentuk program dan kegiatan, diantaranya adalah Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT),[2] Kementerian Perdagangan[3] dan Kementerian Pertanian.[4]
Di tingkat provinsi dukungan bagi pengembangan komoditas pala tercermin dari ditetapkannya pala sebagai komoditas unggulan Provinsi Papua Barat, dengan sentra produksi di Kabupaten Fakfak, Kaimana, Teluk Bintuni dan Teluk Wondana.
Di tingkat kabupaten, pengembangan komoditas pala diwujudkan melalui program- program meliputi:
1.     Ekstensifikasi   Tanaman          PALA dengan pola     menyebar         di         semua  distrik  yang berpotensi        (minus Bomberay).
2.     Program pengembangan tata niaga produsen produk-produk unggulan.
3.     Program pengembangan alat-alat teknologi pengolahan pala.
4.     Program pengembangan produk turunan dan pengemasan pala.
5.     Program pelatihan Tenaga Penyuluh Lapangan koperasi, perkebunan dan kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan dan perindustrian.29
Selain itu, Pemda Kabupaten Fakfak juga memfasilitasi melalui program bantuan bibit dan bantuan dana bergulir.

STRATEGI SWOT & BEP
Strategi pengembangan usaha manisan pala melalui matriks SWOT antara lain: mempertahankan dan memperluas strategi pemasaran dengan memanfaatkan perkembangna teknologi, melakukan kerjasama dengan kemitraan usaha, meningkatkan kualitas produk sesuai selera konsumen, melakukan promosi yang menggunakan teknologi sebagai media, menggunakan teknologi untuk mendapatkan informasi, dan membuat kemasan produk yang lebih menarik dari produk sejenisnya.  Untuk mengembangkan usaha perlu adanya peningkatan kualitas baik dalam kualitas produk maupun pelayanan agar konsumen merasa puas dengan produk yang ditawarkan, menjalin kerjasama kemitraan dengan para supplier buah pala selain itu perlu adanya bantuan modal dari pemerintah sebagai tambahan modal untuk para pengusaha agar dapat lebih mengembangkan usahanya.


[1] Kebijakan pembangunan sosial ekonomi bagi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat termuat dalam Pasal 6
[2] Dalam rangka membantu meningkatkan potensi lokal di Kabupaten Fakfak, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memberikan bantuan untuk pengembangan industri pala pada tahun 2012. Kementerian PDT memfasilitasi pendirian pabrik pengolahan minyak atsiri di Teluk Patipi dengan kapasitas 800 kg. Selain itu juga difasilitasi pelatihan pengolahan pala ke Bogor. Namun, fasilitasi ini belum berlanjut dengan baik dikarenakan tidak adanya pendampingan operasional pabrik, serta tidak dilengkapi dengan pemetaan pasar hasil produk olahannya.
[3] Guna menjawab kebutuhan dan tuntutan pasar Uni Eropa terhadap mutu pala, Pemerintah RI dan Uni Eropa menjalin kerjasama lewat program Trade Support Programme (TSP) II yang bertujuan meningkatkan mutu ekspor Indonesia ke UE. TSP II dikoordinasikan oleh Kementerian Perdagangan, dengan melibatkan instansi pemerintah penting lainnya, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Standardisasi Nasional (BSN)/Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Program ini merupakan program hibah yang dimulai tahun 2011 dengan durasi 4 tahun. Pada tahap pertama program ini fokus di tiga provinsi penghasil utama pala yaitu Sulawesi Utara, Maluku dan Maluku Utara, dengan proyek percontohan pada petani pala dengan harapan meningkatkan mutu di semua titik rantai pasok produksi pala
[4] Kementerian Pertanian melalui kegiatan Ditjen Perkebunan, telah merencanakan kegiatan peremajaan pala 1.500 ha sebesar Rp 3,0 Miliar pada tahun anggaran 2014.


Salah satu cara atau metode yang digunakan oleh perusahaan untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut dalam operasinya tidak mengalami kerugian yaitu dengan menggunakan analisis titik impas (break even point). Dari analisis tersebut dapat diketahui seberapa besar penjualan minimal yang harus dilakukan oleh perusahaan agar dapat menutup biaya total rata-rata. Dimana dalam perhitungannya memasukkan seluruh biaya, baik itu biaya variabel maupun biaya tetap. Jika produksi dan penerimaan hanya mencapai titik break even menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan dalam kondisi tidak untung tetapi juga tidak rugi.  Keuntungan akan diperoleh perusahaan apabila penerimaan yang diperoleh lebih tinggi dari nilai perhitungan BEP atau telah melampaui titik impas. Sedangkan perusahaan akan mengalami kerugian apabila jumlah produksi dan penerimaan tidak mampu melampaui titik break even.
Analisis Break Event Point (BEP) Menurut Riyanto (1995 : 359) analisis break even adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan dan volume kegiatan. Oleh karena analisis tersebut mempelajari hubungan antar biaya, keuntungan dan volume kegiatan, maka analisis tersebut sering pula disebut Cost-Profit-Volume analysis      (CPV analysis). Dalam perencanaan keuntungan, analisis break event merupakan profit planning approach yang mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan penjualan (revenue). Asumsi merupakan suatu konsep dasar atau dasar pemikiran yang harus diterapkan, walaupun anggapan-anggapan tersebut mungkin tidak sesuai dengan kenyataan. Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam perhitungan analisis break event point menurut Munawir (1992 : 197-198) adalah sebagai berikut : 1) Biaya dipisahkan atau diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variable dan prinsip variabilitas biaya dapat diterapkan dengan tepat. 2) Biaya tetap secara total akan selalu konstan sampai tingkat kapasitas penuh. Biaya tetap adalah merupakan biaya yang selalu akan terjadi walaupun perusahaan berhenti beroperasi. 3) Biaya variable akan berubah secara proporsional (sebanding) dengan perubahan volume penjualan dan sinkronisasi antara produksi dan penjualan. 4) Harga jual persatuan barang tidak berubah berapapun jumlah satuan barang yang dijual atau tidak ada perubahan harga secara umum. 5) Hanya ada satu jenis barang yang diproduksi atau dijual atau jika lebih dari satu jenis maka kombinasi atau komposisi penjualannya (sales mix) akan tetap konstan.

Grafik BEP dengan Pendekatan Biaya Rata-rata (AC), dan Biaya Marjinal (MC) (Sunaryo, 2001:147) Analisis break even point dapat dilakukan dengan pendekatan biaya rata-rata dan pendapatan marjinal. Pada pasar persaingan sempurna, harga bersifat tetap, sehingga besarnya pendapatan marginal sama dengan harga. Kondisi BEP terjadi pada saat titik perpotongan antara AC dengan MR atau dapat dikatakan pula besarnya penerimaan sama dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan.
Berdasarkan Gambar diatas kondisi BEP tercapai saat harga yang berlaku adalah P5 dengan produksi sebesar Q5. Lain halnya yang terjadi jika harga yang berlaku adalah P* maka perusahaan akan mencapai kondisi optimal dengan besarnya MR=MC. Namun kerugian akan dialami perusahaan saat harga adalah P2 dan P4 dikarenakan hasil penjualan lebih rendah dari biaya rata-rata (Sunaryo, 2001 :  148).
Menurut Riyanto (1995 :  361-365) analisis break even point dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan dengan rumus aljabar, pendekatan grafik, dan pendekatan trial and error.
1.Perhitungan Break Even Point (BEP)  dengan menggunakan rumus aljabar a. Break Even Point (BEP) atas dasar unit
2.Perhitungan Break Event Point (BEP) dengan grafik Salah satu cara menentukan break even point adalah dengan membuat gambar atau grafik break even.
3.Perhitungan break even point dengan cara trial and error dilakukan dengan cara coba-coba, yaitu dengan menghitung keuntungan operasi dari suatu volume produksi/penjualan tertentu. Apabila perhitungan tersebut menghasilkan keuntungan maka diambil volume penjualan/produksi yang lebih rendah. Apabila dengan mengambil suatu volume penjualan tertentu perusahaan menderita kerugian maka kita mengambil volume penjualan/produksi yang lebih besar. Demikian dilakukan seterusnya hingga dicapai volume penjualan/produksi di mana penghasilan penjualan tepat sama dengan besarnya biaya total.

Daftar pustaka:
1.      Supriadi, H. (2008). Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Papua Barat, Jurnal Analisis
2.      Kebijakan Pertanian, Volume 6 No. 4 Desember 2008, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
3.      UNDP (2005). Community Livelihoods and Civil Society Organisations in Papua, Indonesia, A Snapshot by Local Non-Government Organisations
4.      Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Tanaman Rempah dan Penyegar (2011). Rencana Kerja Tahunan (RKT) Direktorat Tanaman Rempah dan Penyegar, Jakarta Desember 2011
5.      Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (2012). Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen Pala
6.      ITPC Hamburg (2012). Market Brief Pala, Bunga Pala dan Kapulaga di Pasar Jerman, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Maret 2012
7.      Wambrauw,     L.T.     (1999). Diversifikasi    Pengolahan      Pala     Sebagai Sumber Peningkatan            Pendapatan
8.      Pengusaha di Kecamatan Fakfak, Kabupaten Dati II Fakfak, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, Fakfak, 1999
9.      Bank Indonesia. 2004. Sipuk Bank sentral Republik Indonesia. Aspek keuangan manisan pala. http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/pala/ keuangan.asp  


0 komentar:

Posting Komentar