20 Jan 2015

BERLALU (chapter 14 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

H-3 menuju sidang, panik bukan main. Segala sesuatunya harus sudah siap. Sudah tidak ada kesalahan. Hardcover, penulisan, komputer, handphone, aplikasi juga siap.
            Aku membuat sebuah aplikasi menggunakan android pemrograman, aplikasi untuk belajar iqra lengkap dengan suara untuk anak sd dan juga balita. Aku sendiri tidak menyangka aku bisa menyelesaikannya sendiri. Ka neo sering sekali menawariku bantuan untuk mengerjakan skripsi. Aku selalu menolak tawarannya. Dia sendiri sama sekali tidak tahu aplikasi yang aku buat. Aku tidak mau dibilang mencari keuntungan karena dekat dengannya. Berusaha sendiri sebisa mungkin. Jangan manja dan ketergantungan dengan laki-laki dalam hal ini, karena ini skripsiku, mungkin untuk hal-hal lain aku sering sekali ketergantungan dengan dia.
Kamu udah siap?, jangan lupa berdoa. Jangan panik.
Tetep aja panik. Kalo nanti aplikasinya ngadat gimana?
Kamu aneh-aneh aja, sekarang ngadat ga?. Kamu cek dulu
Udah.. ga ada error, bug ada tapi masih dalam batas kewajaran
Kalau bisa bug nya juga diilangin
Udah coba, tapi massih belum bisa
Dosen atau temen-temen kamu sadar ga ada bug nya?
Engga ka, mereka malah bilang nya aplikasinya enteng banget. Padahal file gambar sama file suaranya beribu-ribu, tapi jadinya juga Cuma 24,56kb
Itu bisa?, gimana caranya
Hoki ka
Hahaha.. ada-ada aja, yaudah kaka meeting dulu. Have a nice day cantik
Have a great day handsome
            Masa-masa terakhir. Semuanya dipertaruhkan disini. Empat tahun kuliah dan semuanya ditentukan dari aplikasi yang aku buat. Semoga semuanya berjalan lancar.
            Aku beruntung mendapat jadwal sidang hari ini, ini adalah kuota terakhir untuk angkatan kami yang bisa wisuda akhir tahun. Setelah hari ini semuanya akan dapat jadwal wisuda tahun depan. Ini dikarenakan terbatasnya kursi gedung wisuda.
            Jam lima pagi aku sudah bersiap-siap untuk berangkat ke gedung sidang. Vidi berjanji akan menjemputku. Dia ingin menyemangatiku dan yang lain. Sudah pasti vidi tidak lulus tahun ini. Dia harus mengulang satu semester. Aku senang dia tidak berkecil hati dan malah menyuport kami.
“jen ayo”
“haloo naaviitaa” aku menyapa putri kecil vidi dan menaruhnya digendonganku.
“lu sidang jam berapa?”
“jam sembilan di”
“udah siap?”
“siap ga siap..., aku berangkat ayah.. ibu” mencium tangan ayah dan ibu. Meminta restu keduanya.
            Di dalam mobil aku terus-terus an bermain dengan navita. Senang sekali bertemu dengan dia.
“navita cepet banget gedenya”
“lu aja yang lagi sibuk. Makanya ga pernah main”
“di.. kayanya navita anget deh” merasa ada yang aneh dengan suhu badan navita. aku bukan seorang ibu tapi paling tidak tahu kalau ada yang aneh dengan navita.
“masa si?” vidi mengulurkan tangannya, mengecek suhu badan navita. vidi lantas meminggirkan mobilnya. “navita panas”
“ayo bawa kerumah sakit”
Tapi sidang kamu gimana?”
Aku dan vidi panik dengan kondisi navita saat ini. Tanpa pikir panjang. Aku bertukar tempat dengan vidi dan membawa navita ke sebuah rumah sakit terdekat.
Vidi menyuruhku meninggalkan mereka dan balik menuju gedung sidang. masih ada waktu untuk sampai disana tepat tujuan.
“maafin tante ya navita. abis siddang tante kesini” aku mencium kening navita.
“makasi ya jen, lu hati-hati”
“ok”
            Terburu-buru masuk kedalam mobil dan segera membalik arah. Daerah Jakarta, daerah yang identik dengan macet. Kalau sampai aku kena macet bisa gawat. Masa ga ikut sidang gara-gara kena macet. Alasan yang ga logis.
Drrt... ponselku terus-terusan bergetar dan berdering. Aku tidak sempat untuk menyentuhnya.
Hal yang kutakutkan terjadi. Aku terjebak macet. Ada perbaikan jalan di daerah jatinegara. Pelebaran kali. Sepertinya aku harus melapor untuk pindah sidang ke sesi selanjutnya. Semoga bisa.
            Sampai di gedung sidang jam sepuluh lewat. Aku melapor kepanitia bagian penjadwalan sidang. memberitahukan alasanku. Mereka menerimanya dengan baik. Mengatakan sejujurnya tentang navita, kalau aku hanya mengatakan tentang macet. Bisa jadi mereka tidak akan memberikanku ijin.
“kamu kemana aja?” desy panik melihatku. Aku menceritakan kejadian sebelumnya kepadanya.
“puspa mana?”
“dia lagi di dalem”
“lu udah?”
“udah.... plong banget”
“waa selamat ya”
“belum juga pengumuman”
“tenang lu pasti lulus”
“aamiin”
Puspa keluar dengan wajah yang sangat bahagia. Sepertinya dia mendapatkan hal baik ketika sidang.
            Puspa menceritakan bagaimana Pak Surip memuji aplikasi yang dibuatnya dan meminta aplikasinya untuk bahan tambahan. Kebetulan pak surip sedang melakukan penelitian tentang aplikasi yang dibuat oleh puspa hanya saja lebih kompleks.
            Ada wajah-wajah puas namun ada wajah-wajah panik. Suasana ruangan yang penuh dengan harap.
            Aku menyuport teman-temanku yang lain yang akan sidang. setidaknya dengan membuat mereka tenang itu juga akan membuatku tenang nantinya. Entah kenapa aku merasa tenang dan santai. Nervous hilang bergitu saja. Melihat mereka membuatku senang dan nyaman.
“untung kamu masih boleh sidang jen”
“iya ki... kalo misal harus sidang minggu depan, gue ga lulus bareng kalian”
“yang ga bareng kan Cuma wisudanya, kalo lulus mah bareng”
“tetep aja ki... moment nya itu yang paling ditunggu-tunggu”
            Aku dengan teman-temanku yang lain menunggu pengumuman di lantai satu. Menunggu nama mereka dipanggil satu persatu memasuki ruangan. Puspa dan desy masuk kedalam ruangan tersebut, termasuk beberapa teman-temanku yang lain.
            Sembari menunggu puspa dan desy aku menelefon vidi. Menanyakan keadaan navita. seperti bayi pada umumnya, ternyata navita baik-baik saja, dia seperti itu karena dia akan bisa sesuatu. Awalnya tidak mengerti dengan penjelasan vidi. Namun vidi menjelaskannya dengan perlahan. Dia juga baru tahu sekarang. Ketika bayi panas atau sakit, biasanya dia sedang tumbuh. Entah itu setelahnya bisa merangkak atau berbicara. Aneh, satu kata yang terlontar langsung dariku.
“hei” ka neo muncul begitu saja. Jongkok disampingku.
“kaka..” tidak percaya kalau dia ada. Dia bilang hari ini dia meeting di bandung. Ada project aplikasi bank yang harus segera diselesaikan.
“gimana?” tanyanya
“sidang? belum”
“ko belum” mengernyitkan kening. Sama seperti yang kulakukan kepada puspa dan desy, aku menceritakan kejadian sebelumnya.
“pantes, ditelefon ga diangkat. Whatsap juga ga dibales”
            Disela obrolanku dengan ka Neo, puspa dan desy keluar dari ruangan itu. Raut muka mereka terlihat sedih. Sepertinya mereka mengalami hal buruk.
“hai ka” mereka menyapa ka neo.
“gimana?” aku penasaran
“engga jen..”
“bohong ah! Jangan bohong” menggelitik desy dan puspa
“serius..” desy dan puspa terlihat akan menangis. Sementara banyak disekeliling kami yang tersenyum senang.
“yuk pulang des”
“eh.. cerita dulu..” aku menarik tangan keduanya. Puspa mengibaskannya.
Kayanya ga mungkin kalo mereka boongin aku, mereka aja gini.
“yaudah.. kan masih bisa taun depan” aku memeluk paksa keduanya. Kulihat desy hampir menitikkan air mata.
“tapi boong.. weeek” puspa meledekku, menjulurkan lidahnya kepadaku.
“aaah.. kan bohong.. jahat banget”
“lu tuh gampang sih dikibulin”
“selamaaat yaaaa” ganti mengucapkan nya dengan senang.
            Mereka berdua memelukku senang. Ka neo menyalami mereka dan teman-temanku. Mengucapkan selamat atas kelulusan mereka. sama seperti ka neo, desy dan puspa tidak langsung pulang, menemaniku menunggu sidang.
“jen, hardcover kamu sama perlengkapan sidang kamu yang lain mana?”
Aku baru sadar aku datang tidak dengan membawa apa-apa. “tunggu disini aja ya. Aku ke mobil dulu” meminta mereka bertiga untuk tidak menemaniku.
Aku sadar betul, semua perlengkapan sidangku tertinggal di rumah sakit. Ketika membawa tas perlengkapan navita secara tidak sadar aku juga membawa tasku dan aku kembali dengan tidak membawa apa-apa.
            Gimana ini...., Ya Tuhan... kenapa aku ceroboh banget.
“tuk!” seseorang menimpuk kepalaku dengan buku.
“ah!” menjerit seketika.
“kenapa?” ka neo melirikku aneh. sekejap sebelumnya kukira vidi datang membawakannya untukku, ternyata ka neo yang memukulku dengan buku miliknya.
“kamu kenapa?” ka neo memerhatikanku yang menggeledah mobil. Mencari-cari sesuatu.
“jangan bilang kamu lupa” seakan tahu apa yang aku cari.
Aku mengangguk pelan. Mengiyakan perkiraannya.
“kayanya.. perlengkapan aku ketinggalan di rumah saakit”
“navita?”
“iya.., gimana ni ka”putus asa.
            Ceroboh sekali, ini moment-moment yang udah lama aku tunggu-tunggu. Hari terakhir jadi anak kuliahan. Sekarang kayanya aku harus ngulang tahun depan. Udah dibolehin gara-gara kejadian sebelumnya, sekarang masa aku minta ijin lagi. Mau dibilang apa?.
“kamu masuk keatas. Kaka yang ambil”
“maaf ya ka”
“kenapa minta maaf. Dasar cabiii” aku langsung menutup pipiku dengan kedua tanganku. Menduga kalau ka neo akan mencubitnya.
“siapa yang mau nyubit?” ka neo bukan mencubit pipiku melainkan mengelus kepalaku.
            Aku kembali masuk kedalam gedung dan duduk disamping desy dan juga puspa. Mereka heran melihatku datang dengan tidak membawa apa yang mereka tanyakan.
“ketinggalan di rumah sakit, tadi navita..”
“Ya AMPUN JENI...”
“stttt” desy membekap mulut puspa. Semua mata memperhatikan kami.
“kamu kalo ngomong bisa pelan-pelan ga” sebelum aku menegur puspa, desy sudah menegurnya lebih dulu.
“jangan bikin jeni tambah panik” ucap desy lirih.
“maaf jen” puspa sadar, dia membuatku tambah panik.
“kamu pasti bisa jen.. kamu bawa handphone kamu kan?”
“bawa des..”
“kamu otodidak, langsung aja pake handphone kamu. Semoga dosen-dosennya pada ngertiin kamu”
“iya..” puspa setuju dengan usul desy.
            “Mega..” Satu persatu nama kami dipanggil. Satu persatu dari kami masuk kedalam ruangan tersebut. Setiap kali nama lain yang dipanggil aku selalu merasa bersyukur. Aku berharap namaku dipanggil tepat setelah ka neo datang. Untuk sampai kesini kurang lebih ka neo butuh waktu satu jam.
            Desy sudah menelefon vidi untuk segera memberikan tasku kepada ka neo. Agar waktu yang terbuang semakin singkat.
“Jeni..” namaku dipanggil. Ka neo belum juga sampai. Padahal sudah tiga anak yang masuk sebelumnya. Ragu untuk memasuki ruangan.
“Jeni...” aku menatap kedua sahabatku bergantian dan berdiri, masuk kedalam ruangan.
            Dihadapanku ketiga dosen duduk dengan tenangnya. Pa Joko dosen pembimbingku.
“jeni, mana hardcovernya?” Pa joko mengingatkan. Merasa aneh karena aku datang tanpa membawa apapun.
“sebelumnya saya ingin minta maaf kepada Bapak-Bapak Penyidang yang sudah datang, terlebih kepada Pa Joko, selaku dosen pembimbing saya. Dikarenakan sebuah kejadian yang tidak terduga, perlengkapan saya berikut dengan laptop untuk presentasi tertinggal di sebuah tempat”
“kenapa bisa begitu?” seorang dosen melepaskan bolpoinnya. Ragu dengan ku.
“jeni?” Pa Joko kembali mempertanyakan.
“Jadi begini Bapak-Bapak, saya tidak ingin menceritakan awal kejadiannya seperti apa. Tapi saya mohon sekali dengan Bapak – Bapak untuk tetap menyidang saya hari ini,meski saya hanya membawa handphone saya yang berisi aplikasi yang saya buat. Hardcover berikut dengan laptop saya tertinggal dirumah sakit karena mendadak anak dari teman saya sakit.”
“jadi, semua perlengkapan kamu tertinggal dirumah sakit”
“benar Pa”
Bapak dosen yang terus-terus an menanyaiku meminta pendapat dosen disebelahnya dan juga meminta pendapat Pa Joko. Mereka mendiskusikan bertiga.
“boleh minta nomor telefon teman kamu yang ada dirumah sakit?”
“bisa Pa” aku memberikan nomer telefeon vidi kepada Bapak tersebut. Menunggu keputusan Bapak-Bapak penyidang. Bapak tersebut segera menelefon nomor yang kuberikan. Menanyakan beberapa hal. Tidak perlu waktu yang lama, kemudian Beliau mendiskusikannya lagi dengan rekan-rekannya termasuk Pa Joko.
“Baiklah Jeni.. setelah kami diskusikan, Anda boleh melanjutkan sidang.” Pa Joko formal.
“Terima kasih sebelumnya kalau begitu langsung saja, saya ingin mempresentasikan aplikasi yang telah saya buat. Aplikasi Iqra lengkap dengan suara menggunakan android 2.2”
“tujuan membuat aplikasi ini adalah untuk mengefisiensikan pembelajaran iqra, sehingga pembelajaran tidak hanya berdasarkan buku melainkan bisa menggunakan handphone, selain itu menjadikan pembelajaran menjaddi efektif....”
            Agak hafal dengan semua materi presentasi yang ada di ppt ku. Benar kata orang, jika kita membuat aplikasi itu dengan jerih payah sendiri. Meski tidak membawa apapun, meski ditanya hal-hal yang aneh, kita pasti bisa menjawabnya dengan mudah. Tidak perlu ragu dengan jawaban sendiri. Selama itu memang yang kita lakukan dalam pembuatan skripsi.
            Aku bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Bapak-bapak penyidang dengan baik.
“aplikasi yang kamu buat, termasuk aplikasi yang menarik dan bagus. Bapak juga puas dengan presentasi kamu, walaupun kamu tidak membawa hardcover dan juga peralatan kamu yang lain. Kamu bisa mempresentasikannya dengan baik. Bapak sendiri merasa jelas dengan apa yang kamu presentasikan”
Aku tersenyum senang dan mengucapkan terimakasih atas pujian Bapak Dedi. Beliau Bapak penyidang yang dari awal aktif sekali menanyakanku.
“Apa ada pertanyaan lagi?”
“menurut Bapak sudah cukup, bagaimana dengan yang lain?” Pa Dedi menanyakannya kepada Pa Bilal. Pa Joko selaku dosen pembimbingku tidak memberikanku pertanyaan bahkan beliau membantuku agar Pa Dedi dan Pa Bilal memperbolehkanku melanjutkan sidang di awal waktu.
“sudah cukup”
“Baik Jeni, sepertinya sudah cukup. Jadi sidang sudah bisa ditutup” Pa joko memberikan keputusan.
            Aku menutup sidang dan pergi keluar ruangan. Rasanya lega sekali. Melepaskan nafas panjang.
“gimana-gimana?” puspa dan desy segera mendekatiku. Aku memberikan jempol kepada mereka berdua.
“hebaaat”
“bener kan, lu bisa”
            Tidak lama ka neo datang dari arah lift dan memberikanku tas jinjingku. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Lantas meminta ijin kepada panitia untuk kembali ke ruangan sidang. mereka memperbolehkanku.
“loh.. ada apa lagi jeni?”
“Maaf saya kembali lagi, kebetulan hardcover skripsi saya diambilkan teman dan baru saja sampai, jadi saya ingin memberikannya kepada Pa Joko, Pa Dedi, dan Pa Bilal” aku membagi hardcover skripsi ku diatas meja mereka.
“kalau begitu ini buat Bapak , boleh kan?”
“Boleh Pa”
            Aku kembali keluar ruangan dengan senyum merekah. Senang sekali dengan apa yang kulakukan barusan selama sidang. aku bisa mempresentasikannya dengan baik dan tidak ragu-ragu.
            Sama seperti halnya desy dan puspa. Aku menunggu namaku dipanggil untuk masuk kedalam ruangan pengumuman. Desy dan puspa bercerita kalau di dalam nanti kita akan mendengar beberapa pidato dari Bapak-Bapak Rektor, kemudian pidato tentang nasihat jika ada diantara kami yang tidak lulus untuk berbesar hati.
“jeni...” namaku dipanggil. Aku berdiri dan masuk kedalam ruangan itu. Berbaris diantara temam-teman seperjuanganku yang lain.
            Raut wajah kami penuh kecemasan. Aku tidak mengenal satupun wajah yang ada di dalam sini. Menunggu sampai nama-nama yang dipanggil selesai.
            Ada sekitar tiga orang Dosen yang berdiri dan naik keatas panggung, kemudian ada beberapa dosen yang berdiri disamping kami.
            Benar kata desy, suasana disini membuat kami menjadi cemas dan was-was. Takut kalau sampai aku tidak lulus.
            Pa Rektor berpidato panjang sekali. Aku tidak fokus untuk mendengarkannya, ingin sekali cepat mengetahui hasilnya. Lulus, lulus bersyarat, tidak lulus.
“Kelumpok A lulus, selamat” itu adalah kelumpokku. Namaku ada di barisan kelumpok itu. Kelumpok D terdiri dari empat orang dan semuanya tidak lulus. Aku tidak bisa senang begitu saja diatas kesedihan beberapa orang diangkatanku. Meski aku tidak mengenalnya aku merasa sedih. Laki-laki itu bahkan menangis, aku melihatnya.
            Keluar dengan senyum bahagia. “lulus?”
“iya..”
“aaa selamat sayang” desy dan puspa ganti memberiku ucapan selamat.
“ka neo mana?”
“ga tau”
“o iya.. mobil vidi biar aku aja yang bawa, kuncinya sini” puspa menyodorkan tangan meminta kunci mobil kepadaku.
“trus aku?”
“kamu sama pangeran kamu lah”
“ye..”
“tapi beneran pangeran kan”
“hahahaha..., ka neo mana sih?”
“tuh kan masih nanyain ka neo dimana” ledek desy.
“kamu apal plat mobilnya kan?” tanyanya lagi.
“apal”
“yaudah, kamu cari aja sendiri di parkiran. Aku sama desy langsung ya. Kita mampir rumah sakit dulu. Nengokin navita”
“bareeng..” menarik baju puspa. Mereka hampir meninggalkanku begitu saja.
“jeni sayang, kamu bareng ka neo bisa kan?”
“iya..., tapi nengokin navitanya”
“iyaa bareng. Kamu sama ka neo tapinya”
“ok”
Kami berpisah di parkiran. Berjanji bertemu di rumah sakit setengah jam lagi. Menemukan mobil ka neo. Ka neo ada didalam mobil melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. “kaka ko didalem?” aku masuk, duduk disampignya.
“congratulation...” dia memberiku seikat bunga mawar merah.
“aaa... emangnya aku lulus?”
“tanpa kamu bilang, kaka yakin kamu lulus”
“iii yakin banget”
“tapi bener kan?”
“iya.. makasi ka..”
“jadi kita rayain dimana nih?”
“kita ke rumah sakit aja. aku janji ketemu yang lain disana”
“ok”
            Sementara ka neo mengemudikannya aku menemukan sepucuk surat didalam mawar itu. Ka neo menyuruhku membacanya.

Dear jeni, kesayanganku
            2013 itu awal pertemuan kita
1 maret awal aku membawamu pulang kerumahmu
2 april, melihatmu mengenakan gaun putih di pernikahan sahabatmu, indah. Namun sendu dihatiku
12 juni aku membawamu dan mengikatku dalam janjiku, untukku.
            Tidak cukup untukku mewarnai semua tanggal di kalenderku. Semuanya berwarna semenjak mengenalmu.
Jeni kesayanganku.. happy birthdays

            Aku baru ingat hari ini hari ulang tahunku. Ka neo menunjukkan jok mobil dibelakangnya. Ada sebuah bingkisan berwarna pink baby. Kado ulang tahunku dari nya. Kembali membuka kejutan yang diberikan ka neo. Celemek memasak. Aku menanyainya heran. Dia meledekku, ingin aku belajar memasak?.
            Ka neo menyindirku yang terlihat agak tidak puas dengan hadiahnya. Bukan tidak puas dengan kado yang diberikan ka neo. Aku sedikit merasa kurang karena aku massih belum bisa membuatkannya makanan yang enak.
            Kembali aku diberikan kejutan oleh sahabatku. Aku yang tadinya berfikir kalau navita menginap ternyata dijadikan alasan untuk membohongiku. Ruangan yang tadinya navita tempati dijadikan pos sementara. Setelahnya kami pergi ke salah satu tempat makan yang paling kusukai dengan ka neo.
            Menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatku. Merayakan kelulusan dan ulang tahunku.
            Vidi tidak bisa tinggal lebih lama, dia harus segera pulang mengingat navita yang masih kecil. Seakan mengerti dan memberi waktu kepada ka neo. Desy dan puspa juga ijin absen lebih dulu.
“udah ga muat” tidak bisa menghabiskan es krim yang di belikan ka neo.
“jeni, ka neo minta satu permintaan sama kamu”
“apa ka?” Permintaan pertama yang ka neo minta setelah selama ini kami bersama.
“kamu pakai celemek yang kaka beli”
“sekarang?”
“iya..”
Berfikir sejenak dan tanpa malu-malu aku memakainya. Untung makannya di saung, jadi kenapa malu.
            Ka neo sudah mempersiapkan semuanya, tempat yang dia pesan. Makanan yang dia pesan. Semuanya romantis dan indah. Aku bisa meluruskan kakiku dan menjadi anak-anak yang manja dihadapannya.
“gimana?”
“sip” celemek yang ka neo beli pas sekali dengan ukuran badanku.
“itu..” ka neo menyuruhku memasukkan tanganku kedalam saku celemek yang ada di tengah dibagian depan. Aku merogohnya. Merasa sebuah cincin ada dijariku.
“...” tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meminta penjelasan ka neo.
“kamu mau kan?, jadi wanita yang masakin aku tiap hari?”
“eeh” aku tidak menduga kalau ka neo akan..., tidak sanggup membayangkannya. Ini..
“kamu mau jadi istri aku?”

Lamaran. Ka neo melamarku. Ke neo menunggu jawabanku. Aku memasukkan sendiri cincin itu kedalam jari manisku kemudian menyuapinya eskrimku. Ka neo mengelus lembut kepalaku, mengerti maksudku.

0 komentar:

Posting Komentar