H-3
menuju sidang, panik bukan main. Segala sesuatunya harus sudah siap. Sudah
tidak ada kesalahan. Hardcover, penulisan, komputer, handphone, aplikasi juga
siap.
Aku membuat sebuah aplikasi
menggunakan android pemrograman, aplikasi untuk belajar iqra lengkap dengan
suara untuk anak sd dan juga balita. Aku sendiri tidak menyangka aku bisa
menyelesaikannya sendiri. Ka neo sering sekali menawariku bantuan untuk
mengerjakan skripsi. Aku selalu menolak tawarannya. Dia sendiri sama sekali
tidak tahu aplikasi yang aku buat. Aku tidak mau dibilang mencari keuntungan
karena dekat dengannya. Berusaha sendiri sebisa mungkin. Jangan manja dan ketergantungan
dengan laki-laki dalam hal ini,
karena ini skripsiku,
mungkin untuk hal-hal lain aku sering sekali ketergantungan dengan dia.
Kamu udah siap?, jangan
lupa berdoa. Jangan panik.
Tetep
aja panik. Kalo nanti aplikasinya ngadat gimana?
Kamu aneh-aneh aja,
sekarang ngadat ga?. Kamu cek dulu
Udah..
ga ada error, bug ada tapi masih dalam batas kewajaran
Kalau bisa bug nya juga
diilangin
Udah
coba, tapi massih belum bisa
Dosen atau temen-temen
kamu sadar ga ada bug nya?
Engga
ka, mereka malah bilang nya aplikasinya enteng banget. Padahal file gambar sama
file suaranya beribu-ribu, tapi jadinya juga Cuma 24,56kb
Itu bisa?, gimana caranya
Hoki
ka
Hahaha.. ada-ada aja,
yaudah kaka meeting dulu. Have a nice day cantik
Have
a great day handsome
Masa-masa terakhir. Semuanya
dipertaruhkan disini. Empat tahun kuliah dan semuanya ditentukan dari aplikasi
yang aku buat. Semoga semuanya berjalan lancar.
Aku beruntung mendapat jadwal sidang
hari ini, ini adalah kuota terakhir untuk angkatan kami yang bisa wisuda akhir
tahun. Setelah hari ini semuanya akan dapat jadwal wisuda tahun depan. Ini
dikarenakan terbatasnya kursi gedung wisuda.
Jam lima pagi aku sudah bersiap-siap
untuk berangkat ke gedung sidang. Vidi berjanji akan menjemputku. Dia ingin
menyemangatiku dan yang lain. Sudah pasti vidi tidak lulus tahun ini. Dia harus
mengulang satu semester. Aku senang dia tidak berkecil hati dan malah menyuport
kami.
“jen
ayo”
“haloo
naaviitaa” aku menyapa putri kecil vidi dan menaruhnya digendonganku.
“lu
sidang jam berapa?”
“jam
sembilan di”
“udah
siap?”
“siap
ga siap..., aku berangkat ayah.. ibu” mencium tangan ayah dan ibu. Meminta
restu keduanya.
Di dalam mobil aku terus-terus an
bermain dengan navita. Senang sekali bertemu dengan dia.
“navita
cepet banget gedenya”
“lu
aja yang lagi sibuk. Makanya ga pernah main”
“di..
kayanya navita anget deh” merasa ada yang aneh dengan suhu badan navita. aku
bukan seorang ibu tapi paling tidak tahu kalau ada yang aneh dengan navita.
“masa
si?” vidi mengulurkan tangannya, mengecek suhu badan navita. vidi lantas
meminggirkan mobilnya. “navita panas”
“ayo
bawa kerumah sakit”
Tapi
sidang kamu gimana?”
Aku dan vidi panik dengan kondisi navita saat ini.
Tanpa pikir panjang. Aku bertukar tempat dengan vidi dan membawa navita ke
sebuah rumah sakit terdekat.
Vidi menyuruhku meninggalkan mereka dan balik menuju
gedung sidang. masih ada waktu untuk sampai disana tepat tujuan.
“maafin
tante ya navita. abis siddang tante kesini” aku mencium kening navita.
“makasi
ya jen, lu hati-hati”
“ok”
Terburu-buru masuk kedalam mobil dan
segera membalik arah. Daerah Jakarta, daerah yang identik dengan macet. Kalau
sampai aku kena macet bisa gawat. Masa ga ikut sidang gara-gara kena macet.
Alasan yang ga logis.
Drrt...
ponselku terus-terusan bergetar dan berdering. Aku tidak sempat untuk
menyentuhnya.
Hal
yang kutakutkan terjadi. Aku terjebak macet. Ada perbaikan jalan di daerah
jatinegara. Pelebaran kali. Sepertinya aku harus melapor untuk pindah sidang ke
sesi selanjutnya. Semoga bisa.
Sampai di gedung sidang jam sepuluh
lewat. Aku melapor kepanitia bagian penjadwalan sidang. memberitahukan alasanku.
Mereka menerimanya dengan baik. Mengatakan sejujurnya tentang navita, kalau aku
hanya mengatakan tentang macet. Bisa jadi mereka tidak akan memberikanku ijin.
“kamu
kemana aja?” desy panik melihatku. Aku menceritakan kejadian sebelumnya
kepadanya.
“puspa
mana?”
“dia
lagi di dalem”
“lu
udah?”
“udah....
plong banget”
“waa
selamat ya”
“belum
juga pengumuman”
“tenang
lu pasti lulus”
“aamiin”
Puspa
keluar dengan wajah yang sangat bahagia. Sepertinya dia mendapatkan hal baik
ketika sidang.
Puspa menceritakan bagaimana Pak
Surip memuji aplikasi yang dibuatnya dan meminta aplikasinya untuk bahan
tambahan. Kebetulan pak surip sedang melakukan penelitian tentang aplikasi yang
dibuat oleh puspa hanya saja lebih kompleks.
Ada wajah-wajah puas namun ada
wajah-wajah panik. Suasana ruangan yang penuh dengan harap.
Aku menyuport teman-temanku yang
lain yang akan sidang. setidaknya dengan membuat mereka tenang itu juga akan
membuatku tenang nantinya. Entah kenapa aku merasa tenang dan santai. Nervous
hilang bergitu saja. Melihat mereka membuatku senang dan nyaman.
“untung
kamu masih boleh sidang jen”
“iya
ki... kalo misal harus sidang minggu depan, gue ga lulus bareng kalian”
“yang
ga bareng kan Cuma wisudanya, kalo lulus mah bareng”
“tetep
aja ki... moment nya itu yang paling ditunggu-tunggu”
Aku dengan teman-temanku yang lain
menunggu pengumuman di lantai satu. Menunggu nama mereka dipanggil satu persatu
memasuki ruangan. Puspa dan desy masuk kedalam ruangan tersebut, termasuk
beberapa teman-temanku yang lain.
Sembari menunggu puspa dan desy aku
menelefon vidi. Menanyakan keadaan navita. seperti bayi pada umumnya, ternyata
navita baik-baik saja, dia seperti itu karena dia akan bisa sesuatu. Awalnya
tidak mengerti dengan penjelasan vidi. Namun vidi menjelaskannya dengan
perlahan. Dia juga baru tahu sekarang. Ketika bayi panas atau sakit, biasanya
dia sedang tumbuh. Entah itu setelahnya bisa merangkak atau berbicara. Aneh,
satu kata yang terlontar langsung dariku.
“hei”
ka neo muncul begitu saja. Jongkok disampingku.
“kaka..”
tidak percaya kalau dia ada. Dia bilang hari ini dia meeting di bandung. Ada
project aplikasi bank yang harus segera diselesaikan.
“gimana?”
tanyanya
“sidang?
belum”
“ko
belum” mengernyitkan kening. Sama seperti yang kulakukan kepada puspa dan desy,
aku menceritakan kejadian sebelumnya.
“pantes,
ditelefon ga diangkat. Whatsap juga ga dibales”
Disela obrolanku dengan ka Neo,
puspa dan desy keluar dari ruangan itu. Raut muka mereka terlihat sedih.
Sepertinya mereka mengalami hal buruk.
“hai
ka” mereka menyapa ka neo.
“gimana?”
aku penasaran
“engga
jen..”
“bohong
ah! Jangan bohong” menggelitik desy dan puspa
“serius..”
desy dan puspa terlihat akan menangis. Sementara banyak disekeliling kami yang
tersenyum senang.
“yuk
pulang des”
“eh..
cerita dulu..” aku menarik tangan keduanya. Puspa mengibaskannya.
Kayanya
ga mungkin kalo mereka boongin aku, mereka aja gini.
“yaudah..
kan masih bisa taun depan” aku memeluk paksa keduanya. Kulihat desy hampir
menitikkan air mata.
“tapi
boong.. weeek” puspa meledekku, menjulurkan lidahnya kepadaku.
“aaah..
kan bohong.. jahat banget”
“lu
tuh gampang sih dikibulin”
“selamaaat
yaaaa” ganti mengucapkan nya dengan senang.
Mereka berdua memelukku senang. Ka
neo menyalami mereka dan teman-temanku. Mengucapkan selamat atas kelulusan
mereka. sama seperti ka neo, desy dan puspa tidak langsung pulang, menemaniku
menunggu sidang.
“jen,
hardcover kamu sama perlengkapan sidang kamu yang lain mana?”
Aku
baru sadar aku datang tidak dengan membawa apa-apa. “tunggu disini aja ya. Aku
ke mobil dulu” meminta mereka bertiga untuk tidak menemaniku.
Aku
sadar betul, semua perlengkapan sidangku tertinggal di rumah sakit. Ketika
membawa tas perlengkapan navita secara tidak sadar aku juga membawa tasku dan
aku kembali dengan tidak membawa apa-apa.
Gimana ini...., Ya Tuhan... kenapa
aku ceroboh banget.
“tuk!”
seseorang menimpuk kepalaku dengan buku.
“ah!”
menjerit seketika.
“kenapa?”
ka neo melirikku aneh. sekejap sebelumnya kukira vidi datang membawakannya
untukku, ternyata ka neo yang memukulku dengan buku miliknya.
“kamu
kenapa?” ka neo memerhatikanku yang menggeledah mobil. Mencari-cari sesuatu.
“jangan
bilang kamu lupa” seakan tahu apa yang aku cari.
Aku
mengangguk pelan. Mengiyakan perkiraannya.
“kayanya..
perlengkapan aku ketinggalan di rumah saakit”
“navita?”
“iya..,
gimana ni ka”putus asa.
Ceroboh sekali, ini moment-moment
yang udah lama aku tunggu-tunggu. Hari terakhir jadi anak kuliahan. Sekarang
kayanya aku harus ngulang tahun depan. Udah dibolehin gara-gara kejadian
sebelumnya, sekarang masa aku minta ijin lagi. Mau dibilang apa?.
“kamu
masuk keatas. Kaka yang ambil”
“maaf
ya ka”
“kenapa
minta maaf. Dasar cabiii” aku langsung menutup pipiku dengan kedua tanganku.
Menduga kalau ka neo akan mencubitnya.
“siapa
yang mau nyubit?” ka neo bukan mencubit pipiku melainkan mengelus kepalaku.
Aku kembali masuk kedalam gedung dan
duduk disamping desy dan juga puspa. Mereka heran melihatku datang dengan tidak
membawa apa yang mereka tanyakan.
“ketinggalan
di rumah sakit, tadi navita..”
“Ya
AMPUN JENI...”
“stttt”
desy membekap mulut puspa. Semua mata memperhatikan kami.
“kamu
kalo ngomong bisa pelan-pelan ga” sebelum aku menegur puspa, desy sudah
menegurnya lebih dulu.
“jangan
bikin jeni tambah panik” ucap desy lirih.
“maaf
jen” puspa sadar, dia membuatku tambah panik.
“kamu
pasti bisa jen.. kamu bawa handphone kamu kan?”
“bawa
des..”
“kamu
otodidak, langsung aja pake handphone kamu. Semoga dosen-dosennya pada ngertiin
kamu”
“iya..”
puspa setuju dengan usul desy.
“Mega..” Satu persatu nama kami
dipanggil. Satu persatu dari kami masuk kedalam ruangan tersebut. Setiap kali
nama lain yang dipanggil aku selalu merasa bersyukur. Aku berharap namaku
dipanggil tepat setelah ka neo datang. Untuk sampai kesini kurang lebih ka neo
butuh waktu satu jam.
Desy sudah menelefon vidi untuk
segera memberikan tasku kepada ka neo. Agar waktu yang terbuang semakin
singkat.
“Jeni..”
namaku dipanggil. Ka neo belum juga sampai. Padahal sudah tiga anak yang masuk
sebelumnya. Ragu untuk memasuki ruangan.
“Jeni...”
aku menatap kedua sahabatku bergantian dan berdiri, masuk kedalam ruangan.
Dihadapanku ketiga dosen duduk
dengan tenangnya. Pa Joko dosen pembimbingku.
“jeni,
mana hardcovernya?” Pa joko mengingatkan. Merasa aneh karena aku datang tanpa
membawa apapun.
“sebelumnya
saya ingin minta maaf kepada Bapak-Bapak Penyidang yang sudah datang, terlebih
kepada Pa Joko, selaku dosen pembimbing saya. Dikarenakan sebuah kejadian yang
tidak terduga, perlengkapan saya berikut dengan laptop untuk presentasi
tertinggal di sebuah tempat”
“kenapa
bisa begitu?” seorang dosen melepaskan bolpoinnya. Ragu dengan ku.
“jeni?”
Pa Joko kembali mempertanyakan.
“Jadi
begini Bapak-Bapak, saya tidak ingin menceritakan awal kejadiannya seperti apa.
Tapi saya mohon sekali dengan Bapak – Bapak untuk tetap menyidang saya hari
ini,meski saya hanya membawa handphone saya yang berisi aplikasi yang saya
buat. Hardcover berikut dengan laptop saya tertinggal dirumah sakit karena
mendadak anak dari teman saya sakit.”
“jadi,
semua perlengkapan kamu tertinggal dirumah sakit”
“benar
Pa”
Bapak
dosen yang terus-terus an menanyaiku meminta pendapat dosen disebelahnya dan
juga meminta pendapat Pa Joko. Mereka mendiskusikan bertiga.
“boleh
minta nomor telefon teman kamu yang ada dirumah sakit?”
“bisa
Pa” aku memberikan nomer telefeon vidi kepada Bapak tersebut. Menunggu
keputusan Bapak-Bapak penyidang. Bapak tersebut segera menelefon nomor yang
kuberikan. Menanyakan beberapa hal. Tidak perlu waktu yang lama, kemudian
Beliau mendiskusikannya lagi dengan rekan-rekannya termasuk Pa Joko.
“Baiklah
Jeni.. setelah kami diskusikan, Anda boleh melanjutkan sidang.” Pa Joko formal.
“Terima
kasih sebelumnya kalau begitu langsung saja, saya ingin mempresentasikan
aplikasi yang telah saya buat. Aplikasi Iqra lengkap dengan suara menggunakan
android 2.2”
“tujuan
membuat aplikasi ini adalah untuk mengefisiensikan pembelajaran iqra, sehingga
pembelajaran tidak hanya berdasarkan buku melainkan bisa menggunakan handphone,
selain itu menjadikan pembelajaran menjaddi efektif....”
Agak hafal dengan semua materi
presentasi yang ada di ppt ku. Benar kata orang, jika kita membuat aplikasi itu
dengan jerih payah sendiri. Meski tidak membawa apapun, meski ditanya hal-hal
yang aneh, kita pasti bisa menjawabnya dengan mudah. Tidak perlu ragu dengan
jawaban sendiri. Selama itu memang yang kita lakukan dalam pembuatan skripsi.
Aku bisa menjawab semua pertanyaan
yang diajukan oleh Bapak-bapak penyidang dengan baik.
“aplikasi
yang kamu buat, termasuk aplikasi yang menarik dan bagus. Bapak juga puas
dengan presentasi kamu, walaupun kamu tidak membawa hardcover dan juga
peralatan kamu yang lain. Kamu bisa mempresentasikannya dengan baik. Bapak
sendiri merasa jelas dengan apa yang kamu presentasikan”
Aku
tersenyum senang dan mengucapkan terimakasih atas pujian Bapak Dedi. Beliau
Bapak penyidang yang dari awal aktif sekali menanyakanku.
“Apa
ada pertanyaan lagi?”
“menurut
Bapak sudah cukup, bagaimana dengan yang lain?” Pa Dedi menanyakannya kepada Pa
Bilal. Pa Joko selaku dosen pembimbingku tidak memberikanku pertanyaan bahkan
beliau membantuku agar Pa Dedi dan Pa Bilal memperbolehkanku melanjutkan sidang
di awal waktu.
“sudah
cukup”
“Baik
Jeni, sepertinya sudah cukup. Jadi sidang sudah bisa ditutup” Pa joko
memberikan keputusan.
Aku menutup sidang dan pergi keluar
ruangan. Rasanya lega sekali. Melepaskan nafas panjang.
“gimana-gimana?”
puspa dan desy segera mendekatiku. Aku memberikan jempol kepada mereka berdua.
“hebaaat”
“bener
kan, lu bisa”
Tidak lama ka neo datang dari arah
lift dan memberikanku tas jinjingku. Aku menerimanya dan mengucapkan terima
kasih kepadanya. Lantas meminta ijin kepada panitia untuk kembali ke ruangan
sidang. mereka memperbolehkanku.
“loh..
ada apa lagi jeni?”
“Maaf
saya kembali lagi, kebetulan hardcover skripsi saya diambilkan teman dan baru
saja sampai, jadi saya ingin memberikannya kepada Pa Joko, Pa Dedi, dan Pa
Bilal” aku membagi hardcover skripsi ku diatas meja mereka.
“kalau
begitu ini buat Bapak , boleh kan?”
“Boleh
Pa”
Aku kembali keluar ruangan dengan
senyum merekah. Senang sekali dengan apa yang kulakukan barusan selama sidang.
aku bisa mempresentasikannya dengan baik dan tidak ragu-ragu.
Sama seperti halnya desy dan puspa.
Aku menunggu namaku dipanggil untuk masuk kedalam ruangan pengumuman. Desy dan
puspa bercerita kalau di dalam nanti kita akan mendengar beberapa pidato dari
Bapak-Bapak Rektor, kemudian pidato tentang nasihat jika ada diantara kami yang
tidak lulus untuk berbesar hati.
“jeni...”
namaku dipanggil. Aku berdiri dan masuk kedalam ruangan itu. Berbaris diantara
temam-teman seperjuanganku yang lain.
Raut wajah kami penuh kecemasan. Aku
tidak mengenal satupun wajah yang ada di dalam sini. Menunggu sampai nama-nama
yang dipanggil selesai.
Ada sekitar tiga orang Dosen yang
berdiri dan naik keatas panggung, kemudian ada beberapa dosen yang berdiri
disamping kami.
Benar kata desy, suasana disini
membuat kami menjadi cemas dan was-was. Takut kalau sampai aku tidak lulus.
Pa Rektor berpidato panjang sekali.
Aku tidak fokus untuk mendengarkannya, ingin sekali cepat mengetahui hasilnya.
Lulus, lulus bersyarat, tidak lulus.
“Kelumpok
A lulus, selamat” itu adalah kelumpokku. Namaku ada di barisan kelumpok itu. Kelumpok
D terdiri dari empat orang dan semuanya tidak lulus. Aku tidak bisa senang
begitu saja diatas kesedihan beberapa orang diangkatanku. Meski aku tidak
mengenalnya aku merasa sedih. Laki-laki itu bahkan menangis, aku melihatnya.
Keluar dengan senyum bahagia.
“lulus?”
“iya..”
“aaa
selamat sayang” desy dan puspa ganti memberiku ucapan selamat.
“ka
neo mana?”
“ga
tau”
“o
iya.. mobil vidi biar aku aja yang bawa, kuncinya sini” puspa menyodorkan
tangan meminta kunci mobil kepadaku.
“trus
aku?”
“kamu
sama pangeran kamu lah”
“ye..”
“tapi
beneran pangeran kan”
“hahahaha...,
ka neo mana sih?”
“tuh
kan masih nanyain ka neo dimana” ledek desy.
“kamu
apal plat mobilnya kan?” tanyanya lagi.
“apal”
“yaudah,
kamu cari aja sendiri di parkiran. Aku sama desy langsung ya. Kita mampir rumah
sakit dulu. Nengokin navita”
“bareeng..”
menarik baju puspa. Mereka hampir meninggalkanku begitu saja.
“jeni
sayang, kamu bareng ka neo bisa kan?”
“iya...,
tapi nengokin navitanya”
“iyaa
bareng. Kamu sama ka neo tapinya”
“ok”
Kami berpisah di parkiran. Berjanji bertemu di rumah
sakit setengah jam lagi. Menemukan mobil ka neo. Ka neo ada didalam mobil
melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. “kaka ko didalem?” aku masuk, duduk
disampignya.
“congratulation...”
dia memberiku seikat bunga mawar merah.
“aaa...
emangnya aku lulus?”
“tanpa
kamu bilang, kaka yakin kamu lulus”
“iii
yakin banget”
“tapi
bener kan?”
“iya..
makasi ka..”
“jadi
kita rayain dimana nih?”
“kita
ke rumah sakit aja. aku janji ketemu yang lain disana”
“ok”
Sementara ka neo mengemudikannya aku
menemukan sepucuk surat didalam mawar itu. Ka neo menyuruhku membacanya.
Dear jeni,
kesayanganku
2013 itu awal pertemuan kita
1 maret awal aku
membawamu pulang kerumahmu
2 april, melihatmu
mengenakan gaun putih di pernikahan sahabatmu, indah. Namun sendu dihatiku
12 juni aku
membawamu dan mengikatku dalam janjiku, untukku.
Tidak cukup untukku mewarnai semua
tanggal di kalenderku. Semuanya berwarna semenjak mengenalmu.
Jeni
kesayanganku.. happy birthdays
Aku baru ingat hari ini hari ulang
tahunku. Ka neo menunjukkan jok mobil dibelakangnya. Ada sebuah bingkisan
berwarna pink baby. Kado ulang tahunku dari nya. Kembali membuka kejutan yang
diberikan ka neo. Celemek memasak. Aku menanyainya heran. Dia meledekku, ingin
aku belajar memasak?.
Ka neo menyindirku yang terlihat
agak tidak puas dengan hadiahnya. Bukan tidak puas dengan kado yang diberikan
ka neo. Aku sedikit merasa kurang karena aku massih belum bisa membuatkannya
makanan yang enak.
Kembali aku diberikan kejutan oleh
sahabatku. Aku yang tadinya berfikir kalau navita menginap ternyata dijadikan
alasan untuk membohongiku. Ruangan yang tadinya navita tempati dijadikan pos
sementara. Setelahnya kami pergi ke salah satu tempat makan yang paling kusukai
dengan ka neo.
Menghabiskan waktu bersama ketiga
sahabatku. Merayakan kelulusan dan ulang tahunku.
Vidi tidak bisa tinggal lebih lama,
dia harus segera pulang mengingat navita yang masih kecil. Seakan mengerti dan
memberi waktu kepada ka neo. Desy dan puspa juga ijin absen lebih dulu.
“udah
ga muat” tidak bisa menghabiskan es krim yang di belikan ka neo.
“jeni,
ka neo minta satu permintaan sama kamu”
“apa
ka?” Permintaan pertama yang ka neo minta setelah selama ini kami bersama.
“kamu
pakai celemek yang kaka beli”
“sekarang?”
“iya..”
Berfikir
sejenak dan tanpa malu-malu aku memakainya. Untung makannya di saung, jadi
kenapa malu.
Ka neo sudah mempersiapkan semuanya,
tempat yang dia pesan. Makanan yang dia pesan. Semuanya romantis dan indah. Aku
bisa meluruskan kakiku dan menjadi anak-anak yang manja dihadapannya.
“gimana?”
“sip”
celemek yang ka neo beli pas sekali dengan ukuran badanku.
“itu..”
ka neo menyuruhku memasukkan tanganku kedalam saku celemek yang ada di tengah
dibagian depan. Aku merogohnya. Merasa sebuah cincin ada dijariku.
“...”
tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meminta penjelasan ka neo.
“kamu
mau kan?, jadi wanita yang masakin aku tiap hari?”
“eeh”
aku tidak menduga kalau ka neo akan..., tidak sanggup membayangkannya. Ini..
“kamu
mau jadi istri aku?”
Lamaran.
Ka neo melamarku. Ke neo menunggu jawabanku. Aku memasukkan sendiri cincin itu
kedalam jari manisku kemudian menyuapinya eskrimku. Ka neo mengelus lembut
kepalaku, mengerti maksudku.
0 komentar:
Posting Komentar