20 Jan 2015

Bapak (Chapter 4 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

Aku merasa sangat lemas. Perlahan kusadar, aku berada disebuah ruangan. Sepertinya rumah sakit. Tanganku yang satunya dipasang selang infus sedang yang satunya dibalut perban tebal. Aku bisa menggerak-gerakkan kakiku namun terasa lemas. Dihadapanku ada bapak yang duduk sambil tertidur pulas. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Ya.. aku hampir menabrak mobil atau memang menabrak mobil. Gimana kondisi orang yang bawa mobil. Apa dia baik-baik saja?.
“kamu udah sadar nak?” aku tidak sadar kalau ibuku memasuki ruanganku. ibu tersenyum indah.
“sebentar ya.. ibu panggilin dokter dulu”
“i y a” aku berusaha menjawab meski suaraku tidak terdengar.
            Tak lama ibuku datang dengan membawa dokter dan beberapa perawat. Mereka mengecek keadannku. Kebisingan yang ditimbulkan membuat ayahku bangun dari tidurnya. Beliau senang sekali melihatku.
“cepat sembuh ya nak” begitu kata pak dokter kemudian pergi meninggalkanku. Kulihat dari celah pintu Pa Dokter yang ramah itu berhenti dan entah berbicara dengan siapa karena kemudian pintu tertutup rapat dengan sendirinya.
“akhirnya kamu sadar juga nak... kamu udah dua hari koma” ayahku menjelaskan.
“ma af..in jeni ya ayah..i..bu..” suaraku mulai terdengar meski serak.
“kamu mau minum?”
“iya...” aku mengangguk lemah.
“ayah.. gimana keadaan orang yang bawa mobil?”
“mereka baik-baik aja. mereka ada diluar”
“jeni yang salah ayah.. jeni bawa motornya ga fokus”
“udah nak.. gausah difikirin, yang penting sekarang kesehatan kamu ya...”
“kalo gitu ibu panggil mereka dulu ya”
            Seorang wanita yang sangat cantik masuk dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia mengenalkan diri dan juga meminta maaf kepadaku. Saat itu juga dia mengatakan kalau dia lalai karena sibuk mencari handphone nya yang terjatuh di sela-sela kakinya. Dia sama sekali tidak marah kepadaku dan berdoa agar aku cepat sembuh.
“kalau begitu aku pulang dulu ya. Aku juga ga bisa lama-lama. Ada yang khawatir banget sama keadaan kamu diluar sana” wanita itu mengedipkan sebelah matanya kepadaku kemudian pergi meninggalkan ruangan.
            Aayah dan ibuku juga pergi meninggalkan ruangan. Tak lama dari balik pintu disitulah ka neo berdiri. Wajahnya terlihat lelah sekali. Entah apa yang sudah dilakukannya sebelumnya sampai dia memiliki mata panda yang sangat banyak.
“akhirnya kamu sadar juga, gimana keadaan kamu?”
“aku nggak apa-apa ka..” ucapku lemah. Aku berusaha menggerakkan tanganku yang terpasang selang untuk mengusap kepalanya.  Sedikit menahan sakit.
“udah. Jangan dipaksain” ka neo memegang tanganku lembut dan menaruhnya di pipinya.
“cepet sembuh ya..”
“hu um” mengangguk pelan.
“jeni.. ada yang ingin minta maaf sama kamu?”
“siapa ka?”
“vidi, kaka pasti ga bisa ngelarang kamu buat ga ketemu dia lagi”
“sttt” aku menutup bibirnya dengan jariku.
“kaka ga boleh gitu” masih dengan lemah.
“kaka udah maafin dia. Cuma kaka ga mau kamu celaka gara-gara dia lagi”
“dia ga gitu ka ka”
“iya.. iya..”
“ka... panggilin vidi ya..”
            Ka neo pergi memanggil vidi. Vidi masuk dengan ka neo dibelakangnya. Wajah vidi sembab. Dia pasti habis menangis, tebakku.
“jeni... maafin aku..”
“aku gapapa vidi..”
“aku tau aku bodoh, aku gampang marah, gampang emosian. Maafin aku jen...”
“uudahh..”
“kamu pasti udah ga mau lagi kan sahabatan sama aku. Pasti udah susah kan buat sekedar temenan  juga kan..”
“vidi... kamu ngomong apa sih?. Udah.. ngomongnya jangan ngaco” aku berbicara pelan. Padahal hanya mengucapkan satu kalimat, aku merasa sangat letih dan lemas.
“vidi.. suapin aku makanan yaa?, mau kan?”
Dia langsung mengangguk cepat dan mengambil makanan yang sudah ada di meja. Yang memang belum kusentuh sama sekali.
            Sementara aku disuapin vidi, ka neo hanya diam sembari melihat keluar jendela. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun ketika vidi berada didalam ruangan. Setelah itu aku tertidur sangat pulas

            Jam besuk habis. Vidi ingin sekali tinggal menjagaku namun aku melarangnya. Bukan karena aku marah melainkan aku memikirkan kesehatannya. Sama halnya dengan ka neo. Aku menyuruhnya pulang untuk istirahat. Ka neo janji besok pagi dia datang membawakan bubur buatannya.
            Ayahku masuk. Sepertinya beliau habis pulang dari rumah untuk mandi dan sebagainya. Kulihat beliau sudah berganti pakaian dan sangat wangi.
“jeni... malam ini bapak yang nemenin kamu gapapa kan?”
“ayah ga harus minta ijin kalo itu ke anak sendiri”
“jeni.. suatu saat nanti bapak tahu, kamu bakalan pergi ninggalin rumah. Tapi bapak harap kamu bisa bahagia nanti bareng suami kamu”
“ayah apa-apan si.. jeni belum lulus ayah...”
“bapak percaya sama jeni. Kalo jeni itu bisa jaga diri dan jaga kepercayaan bapak sama ibu”
“..” aku hanya bisa tersenyum.
“kalau bapak pengen nanya boleh ga jeni?”
“bapak kenapa si... mau nanya aja minta ijin dulu?”
“bapak sayang banget sama jeni. Bapak berdoa, jeni dapet laki-laki yang baik yang bisa membahagiakan jeny.”
“aamiin..”
“Jeni suka sama nak neo?” tiba-tiba ayahku menanyakan perasaan ku kepada ka neo.
“jeni belum tau ayah. Jeni baru juga deket sama ka neo”
“Bapak belum kenal betul sama nak neo. Tapi bapak sama ibu bisa rasain mana laki-laki yang bisa bahagiain jeni atau Cuma mainin jeni”
“menurut ayah sama ibu?”
“kalo nak neo, dia orangnya sopan,tau adat istiadat. Bapak sama ibu ga ada masalah sama nak neo. Tapi semua keputusan balik lagi ke jeni”
“bapak.. jeni ngerasanya kaya udah mau nikah aja” aku tersenyum antara malu dan senang. Begitu pula dengan ayahku.
“neo bisa jadi penerus bapak. Soalnya kata ibu mu. Dia mirip bapak dulu waktu muda”
“emang ayah sama ibu dulu dosen sama mahasiswa?”
“bukan dosen sama mahasiswa juga, tapi bapak sama ibu beda lima tahun. Kalo bapak orangnya dewasa. Ibu kamu manja. Persis kaya kamu sekarang sama neo”
“ayo cerita ayah.. cerita dulu awal-awal ayah sama ibu ketemu gimana”

            Ayahku menceritakan semua kisah perjalanannya, dari awal bertemu dengan Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar