Aku merasa sangat lemas. Perlahan kusadar, aku berada
disebuah ruangan. Sepertinya rumah sakit. Tanganku yang satunya dipasang selang
infus sedang yang satunya dibalut perban tebal. Aku bisa menggerak-gerakkan
kakiku namun terasa lemas. Dihadapanku ada bapak yang duduk sambil tertidur
pulas. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Ya.. aku hampir menabrak mobil
atau memang menabrak mobil. Gimana kondisi orang yang bawa mobil. Apa dia
baik-baik saja?.
“kamu
udah sadar nak?” aku tidak sadar kalau ibuku memasuki ruanganku. ibu tersenyum
indah.
“sebentar
ya.. ibu panggilin dokter dulu”
“i
y a” aku berusaha menjawab meski suaraku tidak terdengar.
Tak lama ibuku datang dengan membawa
dokter dan beberapa perawat. Mereka mengecek keadannku. Kebisingan yang
ditimbulkan membuat ayahku bangun dari tidurnya. Beliau senang sekali
melihatku.
“cepat
sembuh ya nak” begitu kata pak dokter kemudian pergi meninggalkanku. Kulihat
dari celah pintu Pa Dokter yang ramah itu berhenti dan entah berbicara dengan
siapa karena kemudian pintu tertutup rapat dengan sendirinya.
“akhirnya
kamu sadar juga nak... kamu udah dua hari koma” ayahku menjelaskan.
“ma
af..in jeni ya ayah..i..bu..” suaraku mulai terdengar meski serak.
“kamu
mau minum?”
“iya...”
aku mengangguk lemah.
“ayah..
gimana keadaan orang yang bawa mobil?”
“mereka
baik-baik aja. mereka ada diluar”
“jeni
yang salah ayah.. jeni bawa motornya ga fokus”
“udah
nak.. gausah difikirin, yang penting sekarang kesehatan kamu ya...”
“kalo
gitu ibu panggil mereka dulu ya”
Seorang wanita yang sangat cantik
masuk dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia mengenalkan diri dan juga meminta
maaf kepadaku. Saat itu juga dia mengatakan kalau dia lalai karena sibuk
mencari handphone nya yang terjatuh di sela-sela kakinya. Dia sama sekali tidak
marah kepadaku dan berdoa agar aku cepat sembuh.
“kalau
begitu aku pulang dulu ya. Aku juga ga bisa lama-lama. Ada yang khawatir banget
sama keadaan kamu diluar sana” wanita itu mengedipkan sebelah matanya kepadaku
kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Aayah dan ibuku juga pergi
meninggalkan ruangan. Tak lama dari balik pintu disitulah ka neo berdiri.
Wajahnya terlihat lelah sekali. Entah apa yang sudah dilakukannya sebelumnya
sampai dia memiliki mata panda yang sangat banyak.
“akhirnya
kamu sadar juga, gimana keadaan kamu?”
“aku
nggak apa-apa ka..” ucapku lemah.
Aku berusaha menggerakkan tanganku yang terpasang selang untuk mengusap
kepalanya. Sedikit menahan sakit.
“udah.
Jangan dipaksain” ka neo memegang tanganku lembut dan menaruhnya di pipinya.
“cepet
sembuh ya..”
“hu
um” mengangguk pelan.
“jeni..
ada yang ingin minta maaf sama kamu?”
“siapa
ka?”
“vidi,
kaka pasti ga bisa ngelarang kamu buat ga ketemu dia lagi”
“sttt”
aku menutup bibirnya dengan jariku.
“kaka
ga boleh gitu” masih dengan lemah.
“kaka
udah maafin dia. Cuma kaka ga mau kamu celaka gara-gara dia lagi”
“dia
ga gitu ka ka”
“iya..
iya..”
“ka...
panggilin vidi ya..”
Ka neo pergi memanggil vidi. Vidi
masuk dengan ka neo dibelakangnya. Wajah vidi sembab. Dia pasti habis menangis,
tebakku.
“jeni...
maafin aku..”
“aku
gapapa vidi..”
“aku
tau aku bodoh, aku gampang marah, gampang emosian. Maafin aku jen...”
“uudahh..”
“kamu
pasti udah ga mau lagi kan sahabatan sama aku. Pasti udah susah kan buat
sekedar temenan juga kan..”
“vidi...
kamu ngomong apa sih?.
Udah.. ngomongnya jangan ngaco” aku berbicara pelan. Padahal hanya mengucapkan
satu kalimat, aku merasa sangat letih dan lemas.
“vidi..
suapin aku makanan yaa?, mau kan?”
Dia
langsung mengangguk cepat dan mengambil makanan yang sudah ada di meja. Yang
memang belum kusentuh sama sekali.
Sementara aku disuapin vidi, ka neo
hanya diam sembari melihat keluar jendela. Dia tidak mengucapkan sepatah
katapun ketika vidi berada didalam ruangan. Setelah itu aku tertidur sangat
pulas
Jam besuk habis. Vidi ingin sekali
tinggal menjagaku namun aku melarangnya. Bukan karena aku marah melainkan aku
memikirkan kesehatannya. Sama halnya dengan ka neo. Aku menyuruhnya pulang
untuk istirahat. Ka neo janji besok pagi dia datang membawakan bubur buatannya.
Ayahku masuk. Sepertinya beliau
habis pulang dari rumah untuk mandi dan sebagainya. Kulihat beliau sudah
berganti pakaian dan sangat wangi.
“jeni...
malam ini bapak yang nemenin kamu gapapa kan?”
“ayah
ga harus minta ijin kalo itu ke anak
sendiri”
“jeni..
suatu saat nanti bapak tahu, kamu bakalan pergi ninggalin rumah. Tapi bapak
harap kamu bisa bahagia nanti bareng suami kamu”
“ayah
apa-apan si.. jeni belum lulus ayah...”
“bapak
percaya sama jeni. Kalo jeni itu bisa jaga diri dan jaga kepercayaan bapak sama
ibu”
“..”
aku hanya bisa tersenyum.
“kalau
bapak pengen nanya boleh ga jeni?”
“bapak
kenapa si... mau nanya aja minta ijin dulu?”
“bapak
sayang banget sama jeni. Bapak berdoa, jeni dapet laki-laki yang baik yang bisa membahagiakan jeny.”
“aamiin..”
“Jeni
suka sama nak neo?” tiba-tiba ayahku menanyakan perasaan ku kepada ka neo.
“jeni
belum tau ayah. Jeni baru juga deket sama ka neo”
“Bapak
belum kenal betul sama nak neo. Tapi bapak sama ibu bisa rasain mana laki-laki
yang bisa bahagiain jeni atau Cuma mainin jeni”
“menurut
ayah sama ibu?”
“kalo
nak neo, dia orangnya sopan,tau adat istiadat. Bapak sama ibu ga ada masalah sama
nak neo. Tapi semua keputusan balik lagi ke jeni”
“bapak..
jeni ngerasanya kaya udah mau nikah aja” aku tersenyum antara malu dan senang.
Begitu pula dengan ayahku.
“neo
bisa jadi penerus bapak. Soalnya kata ibu mu. Dia mirip bapak dulu waktu muda”
“emang
ayah sama ibu dulu dosen sama mahasiswa?”
“bukan
dosen sama mahasiswa juga, tapi bapak sama ibu beda lima tahun. Kalo bapak
orangnya dewasa. Ibu kamu manja. Persis kaya kamu sekarang sama neo”
“ayo
cerita ayah.. cerita dulu awal-awal ayah sama ibu ketemu gimana”
Ayahku menceritakan semua kisah
perjalanannya, dari awal bertemu dengan Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar