hanapert -Stage 1 - WELCOME

Selamat Datang di Blog saya 'hanapert.blogspot.com' Blog Pribadi yang berisi semua unek-unek pribadi --> Jangan Lupa tinggalkan Pesan dan Kesan nya ya teman ^_^

hanapert -Stage 2 - BLOG, ANDROID, PHP

Android, salah satu Sistem Operasi yang saya jadikan bahan untuk Tugas Akhir dalam menyelesaikan S1 saya. Program yang berhasil dibuat saya beri nama 'IQRA HANA'

hanapert -Stage 3 - NOVEL

Menulis, Berimajinasi tanpa batas, Apresiasi. Perjalanan Novel yang sangat Panjang sampai akhirnya bisa mempublikasikannya dengan bantuan NulisBuku.com.

hanapert -Stage 4 - ANIME

Shigatsu Wa Kimi No Uso, anime yang bercerita tentang Kaori ..., dalam Blog ini ada beberapa Resensi Anime yang sudah ditonton oleh saya, masih banyak yang belum sempat tertuang. Ditunggu aja Postingan selanjutnya

hanapert -Stage 5 - GOOD BYE

Buah dan Sayuran merupakan salah satu Tema yang diangkat di BLOG ini, Selain karena manfaatnya yang baik untuk kesehatan tapi juga beberapa bermanfaat untuk kecantikan. Ladies kita intip sejenak yuk.. yang laki-laki juga boleh

20 Jan 2015

BUMIL (chapter 15 Novel ' Sabtu yang kutunggu')

Begitulah, satu minggu setelahnya ka neo datang dengan keluarganya melamarku. Semuanya super ekspres dan serba cepat. Seperti yang kuduga, ka neo sudah merencanakan semuanya dengan matang. Seminggu setelah pertemuan keluarga, seminggu dari jarak itu kami menikah. Mengikat janji akad pernikahan kami.
            Ka neo menikahiku yang baru saja lulus sidang. Disaat yang lain sibuk mempersiapkan pakaian ataupun segala keperluan wisuda mereka aku dengan dibantu sahabat-sahabatku disibukkan persiapan pernikahanku.
            Pernikahan bertemakan biru baby dan pink baby. Aku memakai baju biru baby dan ka neo memakai pakaian berwarna pink baby. Kami serasi sekali dipadu padankan dengan warna putih bersih.
            Pernikahan yang sederhana. Pernikahan yang kuinginkan sejak lama. Banyak diantara teman-teman ku yang sudah menduga hubunganku dengan ka neo akan berakhir seperti ini.
            Semuanya berlalu begitu saja. Awal aku bertemu dengan ka neo, semua kejadian yang kami lalui bersama sampai akhirnya kami bisa bersama.
“sayang”panggilan ka neo berubah semenjak kami menikah. Aku tinggal dengannya di rumah baru kami yang kecil.  Beruntung sekali aku menikah dengan laki-laki yang bahkan sudah memikirkan semuanya untukku, untuk kebahagiaanku.
            Aku membawakannya jus kiwi. Duduk dipangkuannya, di depan meja kerjanya, manja.
“kamu sedang apa?” melihat layar monitor leptopnya. Melihat foto-foto pernikahan kita tiga hari yang lalu. Tertawa bersama melihat foto-foto kami.
“besok kamu wisuda, tidur sayang” ka neo membelai pipiku.
“iya sayang.. kamu kan juga harus tidur..., mata kamu udah kaya paaandaaa” aku menekan kedua pipinya.
“sebentar lagi, mas mau menyelesaikan kerjaan dulu, sedikit lagi”
“hmm.. kalo gitu jangan lama-lama ya, besok kita long journey” aku mencium pipinya. Mengingatkannya dengan honey moon kami yang tertunda.
            Wisuda, dengan laki-laki yang sudah menjadi suami dihidupku. Sebuah kebahagiaan yang tidak aku duga sebelumnya. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa kuutarakan secara lisan. Rasanya benar-benar penuh warna, penuh senyuman, dan penuh kelegaan. Banyak sekali yang kurasakan.
Disaat yang lain sibuk mendandani diri mereka sendiri untuk wisuda, aku sibuk membuatkan dasi di kemeja ka neo.
“terima kasih” mencium keningku.
“mas, aku cek dulu ya, takut ada yang ketinggalan”
“iya”
Aku mengecek koper ku dan koper ka neo. Selesai acara wisuda kami berencana pergi berlibur sekaligus honeymoon, hadiah dari orang tuaku. Orang tua ku bahagia sekali melihatku yang sudah memiliki suami tidak lama setelah lulus sidang. sesuai dengan yang diharapkannya.
            Hari itu semua wajah terlihat bahagia. Cerah sekali. Jika ada sebuah tangis yang turun, tangis itu tangis kebahagiaan. Sama seperti halnya aku, aku bahagia sekali wisuda dengan ditemani suamiku dan juga orang tuaku.
            Vidi datang dengan membawa sertu dan navita. Memberikan seikat bunga untukku.
“selamat ya jen...” memelukku dan mencium pipiku.
“makasiii”
“yang lain mana?”
“kepencar... sumpek banget di..”
“iya.. makanya gue nunggu agak legaan, kasian navita” kulihat navita berada digendongan sertu.
“dede...” aku mengambilnya dari tangan sertu. Menggendongnya.
“bentar, gue coba telefon mereka dulu” vidi merogoh tas nya dan menekan beberapa nomor.
“iya”
            Aku menggendong navita dan membawanya ke samping neo. Mencandainya. Ibuku mengambil navita dari tanganku. Gemas sekali dengan navita.
            Dari arah selatan desy dan puspa muncul. Ditangan mereka banyak sekali bunga. Vidi mengambil bunga yang ada dikereta dorong navita dan memberikannya kepada puspa dan juga desy. Kami saling berpelukan satu sama lain.
“udah tiga bulan, jadi gimana rasanya?” desy dan puspa penasaran, berbisik lirih. Aku tersipu malu mendengar pertanyaan mereka. ragu untuk menjawab.
“mending cepetan nikah deh, biar rasain sendiri” vidi membantuku menjawabnya.
“kalo udah ada calonnya, gue siap”
“masalahnya belum ada” Puspa dan desy kompak sekali saling melengkapi.
“ha ha ha”
“jadi.. gimana?” kali ini ganti vidi menanyaiku, menunjuk perut.
“belum tau” aku belum menunjukkan tanda-tanda debay di perutku.
“secepatnya... biar desy sama puspa tambah tua punya dua keponakan, ntar lama-lama mereka mikir deh, gue umur segini udah punya dua keponakan”
“sedih bener.. padahal masih muda.. biarin aja di.. mereka kan calon wanita karir, beda jalur ma kita”
“ada segala jalur-jalur an jen?” puspa menanggapi ucapanku
“ada-ada aja” desy menggelengkan kepala
“tapi gue emang pengen jadi wanita karir dulu si, ngumpulin duit dulu yang banyak, kalo dah bisa berkecukupan. Cukup satu rumah mewah, cukup mobil satu, cukup ini, cukup itu, baru deh nikah” puspa membuat list daftarnya satu-satu
“itu mah maruk” aku dan vidi menimpuk kepalanya pelan.
“ha ha ha” kami tertawa lepas sekali.
“nanti gue ga bisa ikut kumpul-kumpul, gapapa kan?”
“mang lu mau kemana?” puspa penasaran dengan ku yang jarang sekali melewati moment bersama.
“yah sayang banget ga ada lu jen” desy agak sedikit kecewa. Keningnya mengkerut.
“jangan pada sedih gitu donk, ini kan juga buat kebahagiaan jeni juga, dia ma suami baru mau honey moon tau, baru mau liburan” vidi yang sudah mengetahuinya lebih dahulu menjelaskannya kepada puspa dan desy.
“oooowww.... waaaaaaa”
“jangan keras-keras” aku malu sekali.
“jadi kalian belum honeymoon?” puspa seakan tidak percaya.
“tapi udah kan?” puspa melanjutkan.
Pertanyaannya terlalu ekstrem bagiku. “ii ga boleh nanya-nanya” aku menyilangkan tangan kepada puspa. Malu sekali.
“aku doain semoga cepet ya jen” desy mengelus perutku. Geli karena elusannya aku agak menjauhinya.
 “hoek” tiba-tiba aku mual-mual tidak karuan. Bingung kenapa mendadak seperti ini.
“BUMIIL” ucap desy dan puspa kompak. Tanpa pikir panjang aku meminta ijin kepada ka neo untuk pergi ke toilet. Ditemani dengan ketiga sahabatku.
            Mereka bertiga benar-benar penasaran apakah aku hamil atau tidak. Beruntungnya ada vidi yang sudah lebih dulu pengalaman dari aku. Vidi mempunyai persediaan testpack di dompetnya. Memberikannya satu kepadaku. Memintaku untuk segera mengeceknya.

Ayah, Ibuku, dan Ka neo sudah menungguku diluar sepertinya mereka merasa cemas dan penasaran denganku. Mereka menungguku berbicara
“kayanya honeymoon nya dipending deh, aku ..” belum selesai aku berbicara ka neo memotongnya.
“kamu hamil?” tanyanya antusias.
“iya..” kedua orang tuaku dan ka neo lantas mengucapkan syukur. Aku memberikan hasil testpack ku kepada mereka.

Namun rencana tetap berlanjut. Meski aku hamil, hari itu kami tetap pergi honeymoon. Perjalananku baru dimulai dengan ka neo. Merayakan kehamilanku.

BERLALU (chapter 14 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

H-3 menuju sidang, panik bukan main. Segala sesuatunya harus sudah siap. Sudah tidak ada kesalahan. Hardcover, penulisan, komputer, handphone, aplikasi juga siap.
            Aku membuat sebuah aplikasi menggunakan android pemrograman, aplikasi untuk belajar iqra lengkap dengan suara untuk anak sd dan juga balita. Aku sendiri tidak menyangka aku bisa menyelesaikannya sendiri. Ka neo sering sekali menawariku bantuan untuk mengerjakan skripsi. Aku selalu menolak tawarannya. Dia sendiri sama sekali tidak tahu aplikasi yang aku buat. Aku tidak mau dibilang mencari keuntungan karena dekat dengannya. Berusaha sendiri sebisa mungkin. Jangan manja dan ketergantungan dengan laki-laki dalam hal ini, karena ini skripsiku, mungkin untuk hal-hal lain aku sering sekali ketergantungan dengan dia.
Kamu udah siap?, jangan lupa berdoa. Jangan panik.
Tetep aja panik. Kalo nanti aplikasinya ngadat gimana?
Kamu aneh-aneh aja, sekarang ngadat ga?. Kamu cek dulu
Udah.. ga ada error, bug ada tapi masih dalam batas kewajaran
Kalau bisa bug nya juga diilangin
Udah coba, tapi massih belum bisa
Dosen atau temen-temen kamu sadar ga ada bug nya?
Engga ka, mereka malah bilang nya aplikasinya enteng banget. Padahal file gambar sama file suaranya beribu-ribu, tapi jadinya juga Cuma 24,56kb
Itu bisa?, gimana caranya
Hoki ka
Hahaha.. ada-ada aja, yaudah kaka meeting dulu. Have a nice day cantik
Have a great day handsome
            Masa-masa terakhir. Semuanya dipertaruhkan disini. Empat tahun kuliah dan semuanya ditentukan dari aplikasi yang aku buat. Semoga semuanya berjalan lancar.
            Aku beruntung mendapat jadwal sidang hari ini, ini adalah kuota terakhir untuk angkatan kami yang bisa wisuda akhir tahun. Setelah hari ini semuanya akan dapat jadwal wisuda tahun depan. Ini dikarenakan terbatasnya kursi gedung wisuda.
            Jam lima pagi aku sudah bersiap-siap untuk berangkat ke gedung sidang. Vidi berjanji akan menjemputku. Dia ingin menyemangatiku dan yang lain. Sudah pasti vidi tidak lulus tahun ini. Dia harus mengulang satu semester. Aku senang dia tidak berkecil hati dan malah menyuport kami.
“jen ayo”
“haloo naaviitaa” aku menyapa putri kecil vidi dan menaruhnya digendonganku.
“lu sidang jam berapa?”
“jam sembilan di”
“udah siap?”
“siap ga siap..., aku berangkat ayah.. ibu” mencium tangan ayah dan ibu. Meminta restu keduanya.
            Di dalam mobil aku terus-terus an bermain dengan navita. Senang sekali bertemu dengan dia.
“navita cepet banget gedenya”
“lu aja yang lagi sibuk. Makanya ga pernah main”
“di.. kayanya navita anget deh” merasa ada yang aneh dengan suhu badan navita. aku bukan seorang ibu tapi paling tidak tahu kalau ada yang aneh dengan navita.
“masa si?” vidi mengulurkan tangannya, mengecek suhu badan navita. vidi lantas meminggirkan mobilnya. “navita panas”
“ayo bawa kerumah sakit”
Tapi sidang kamu gimana?”
Aku dan vidi panik dengan kondisi navita saat ini. Tanpa pikir panjang. Aku bertukar tempat dengan vidi dan membawa navita ke sebuah rumah sakit terdekat.
Vidi menyuruhku meninggalkan mereka dan balik menuju gedung sidang. masih ada waktu untuk sampai disana tepat tujuan.
“maafin tante ya navita. abis siddang tante kesini” aku mencium kening navita.
“makasi ya jen, lu hati-hati”
“ok”
            Terburu-buru masuk kedalam mobil dan segera membalik arah. Daerah Jakarta, daerah yang identik dengan macet. Kalau sampai aku kena macet bisa gawat. Masa ga ikut sidang gara-gara kena macet. Alasan yang ga logis.
Drrt... ponselku terus-terusan bergetar dan berdering. Aku tidak sempat untuk menyentuhnya.
Hal yang kutakutkan terjadi. Aku terjebak macet. Ada perbaikan jalan di daerah jatinegara. Pelebaran kali. Sepertinya aku harus melapor untuk pindah sidang ke sesi selanjutnya. Semoga bisa.
            Sampai di gedung sidang jam sepuluh lewat. Aku melapor kepanitia bagian penjadwalan sidang. memberitahukan alasanku. Mereka menerimanya dengan baik. Mengatakan sejujurnya tentang navita, kalau aku hanya mengatakan tentang macet. Bisa jadi mereka tidak akan memberikanku ijin.
“kamu kemana aja?” desy panik melihatku. Aku menceritakan kejadian sebelumnya kepadanya.
“puspa mana?”
“dia lagi di dalem”
“lu udah?”
“udah.... plong banget”
“waa selamat ya”
“belum juga pengumuman”
“tenang lu pasti lulus”
“aamiin”
Puspa keluar dengan wajah yang sangat bahagia. Sepertinya dia mendapatkan hal baik ketika sidang.
            Puspa menceritakan bagaimana Pak Surip memuji aplikasi yang dibuatnya dan meminta aplikasinya untuk bahan tambahan. Kebetulan pak surip sedang melakukan penelitian tentang aplikasi yang dibuat oleh puspa hanya saja lebih kompleks.
            Ada wajah-wajah puas namun ada wajah-wajah panik. Suasana ruangan yang penuh dengan harap.
            Aku menyuport teman-temanku yang lain yang akan sidang. setidaknya dengan membuat mereka tenang itu juga akan membuatku tenang nantinya. Entah kenapa aku merasa tenang dan santai. Nervous hilang bergitu saja. Melihat mereka membuatku senang dan nyaman.
“untung kamu masih boleh sidang jen”
“iya ki... kalo misal harus sidang minggu depan, gue ga lulus bareng kalian”
“yang ga bareng kan Cuma wisudanya, kalo lulus mah bareng”
“tetep aja ki... moment nya itu yang paling ditunggu-tunggu”
            Aku dengan teman-temanku yang lain menunggu pengumuman di lantai satu. Menunggu nama mereka dipanggil satu persatu memasuki ruangan. Puspa dan desy masuk kedalam ruangan tersebut, termasuk beberapa teman-temanku yang lain.
            Sembari menunggu puspa dan desy aku menelefon vidi. Menanyakan keadaan navita. seperti bayi pada umumnya, ternyata navita baik-baik saja, dia seperti itu karena dia akan bisa sesuatu. Awalnya tidak mengerti dengan penjelasan vidi. Namun vidi menjelaskannya dengan perlahan. Dia juga baru tahu sekarang. Ketika bayi panas atau sakit, biasanya dia sedang tumbuh. Entah itu setelahnya bisa merangkak atau berbicara. Aneh, satu kata yang terlontar langsung dariku.
“hei” ka neo muncul begitu saja. Jongkok disampingku.
“kaka..” tidak percaya kalau dia ada. Dia bilang hari ini dia meeting di bandung. Ada project aplikasi bank yang harus segera diselesaikan.
“gimana?” tanyanya
“sidang? belum”
“ko belum” mengernyitkan kening. Sama seperti yang kulakukan kepada puspa dan desy, aku menceritakan kejadian sebelumnya.
“pantes, ditelefon ga diangkat. Whatsap juga ga dibales”
            Disela obrolanku dengan ka Neo, puspa dan desy keluar dari ruangan itu. Raut muka mereka terlihat sedih. Sepertinya mereka mengalami hal buruk.
“hai ka” mereka menyapa ka neo.
“gimana?” aku penasaran
“engga jen..”
“bohong ah! Jangan bohong” menggelitik desy dan puspa
“serius..” desy dan puspa terlihat akan menangis. Sementara banyak disekeliling kami yang tersenyum senang.
“yuk pulang des”
“eh.. cerita dulu..” aku menarik tangan keduanya. Puspa mengibaskannya.
Kayanya ga mungkin kalo mereka boongin aku, mereka aja gini.
“yaudah.. kan masih bisa taun depan” aku memeluk paksa keduanya. Kulihat desy hampir menitikkan air mata.
“tapi boong.. weeek” puspa meledekku, menjulurkan lidahnya kepadaku.
“aaah.. kan bohong.. jahat banget”
“lu tuh gampang sih dikibulin”
“selamaaat yaaaa” ganti mengucapkan nya dengan senang.
            Mereka berdua memelukku senang. Ka neo menyalami mereka dan teman-temanku. Mengucapkan selamat atas kelulusan mereka. sama seperti ka neo, desy dan puspa tidak langsung pulang, menemaniku menunggu sidang.
“jen, hardcover kamu sama perlengkapan sidang kamu yang lain mana?”
Aku baru sadar aku datang tidak dengan membawa apa-apa. “tunggu disini aja ya. Aku ke mobil dulu” meminta mereka bertiga untuk tidak menemaniku.
Aku sadar betul, semua perlengkapan sidangku tertinggal di rumah sakit. Ketika membawa tas perlengkapan navita secara tidak sadar aku juga membawa tasku dan aku kembali dengan tidak membawa apa-apa.
            Gimana ini...., Ya Tuhan... kenapa aku ceroboh banget.
“tuk!” seseorang menimpuk kepalaku dengan buku.
“ah!” menjerit seketika.
“kenapa?” ka neo melirikku aneh. sekejap sebelumnya kukira vidi datang membawakannya untukku, ternyata ka neo yang memukulku dengan buku miliknya.
“kamu kenapa?” ka neo memerhatikanku yang menggeledah mobil. Mencari-cari sesuatu.
“jangan bilang kamu lupa” seakan tahu apa yang aku cari.
Aku mengangguk pelan. Mengiyakan perkiraannya.
“kayanya.. perlengkapan aku ketinggalan di rumah saakit”
“navita?”
“iya.., gimana ni ka”putus asa.
            Ceroboh sekali, ini moment-moment yang udah lama aku tunggu-tunggu. Hari terakhir jadi anak kuliahan. Sekarang kayanya aku harus ngulang tahun depan. Udah dibolehin gara-gara kejadian sebelumnya, sekarang masa aku minta ijin lagi. Mau dibilang apa?.
“kamu masuk keatas. Kaka yang ambil”
“maaf ya ka”
“kenapa minta maaf. Dasar cabiii” aku langsung menutup pipiku dengan kedua tanganku. Menduga kalau ka neo akan mencubitnya.
“siapa yang mau nyubit?” ka neo bukan mencubit pipiku melainkan mengelus kepalaku.
            Aku kembali masuk kedalam gedung dan duduk disamping desy dan juga puspa. Mereka heran melihatku datang dengan tidak membawa apa yang mereka tanyakan.
“ketinggalan di rumah sakit, tadi navita..”
“Ya AMPUN JENI...”
“stttt” desy membekap mulut puspa. Semua mata memperhatikan kami.
“kamu kalo ngomong bisa pelan-pelan ga” sebelum aku menegur puspa, desy sudah menegurnya lebih dulu.
“jangan bikin jeni tambah panik” ucap desy lirih.
“maaf jen” puspa sadar, dia membuatku tambah panik.
“kamu pasti bisa jen.. kamu bawa handphone kamu kan?”
“bawa des..”
“kamu otodidak, langsung aja pake handphone kamu. Semoga dosen-dosennya pada ngertiin kamu”
“iya..” puspa setuju dengan usul desy.
            “Mega..” Satu persatu nama kami dipanggil. Satu persatu dari kami masuk kedalam ruangan tersebut. Setiap kali nama lain yang dipanggil aku selalu merasa bersyukur. Aku berharap namaku dipanggil tepat setelah ka neo datang. Untuk sampai kesini kurang lebih ka neo butuh waktu satu jam.
            Desy sudah menelefon vidi untuk segera memberikan tasku kepada ka neo. Agar waktu yang terbuang semakin singkat.
“Jeni..” namaku dipanggil. Ka neo belum juga sampai. Padahal sudah tiga anak yang masuk sebelumnya. Ragu untuk memasuki ruangan.
“Jeni...” aku menatap kedua sahabatku bergantian dan berdiri, masuk kedalam ruangan.
            Dihadapanku ketiga dosen duduk dengan tenangnya. Pa Joko dosen pembimbingku.
“jeni, mana hardcovernya?” Pa joko mengingatkan. Merasa aneh karena aku datang tanpa membawa apapun.
“sebelumnya saya ingin minta maaf kepada Bapak-Bapak Penyidang yang sudah datang, terlebih kepada Pa Joko, selaku dosen pembimbing saya. Dikarenakan sebuah kejadian yang tidak terduga, perlengkapan saya berikut dengan laptop untuk presentasi tertinggal di sebuah tempat”
“kenapa bisa begitu?” seorang dosen melepaskan bolpoinnya. Ragu dengan ku.
“jeni?” Pa Joko kembali mempertanyakan.
“Jadi begini Bapak-Bapak, saya tidak ingin menceritakan awal kejadiannya seperti apa. Tapi saya mohon sekali dengan Bapak – Bapak untuk tetap menyidang saya hari ini,meski saya hanya membawa handphone saya yang berisi aplikasi yang saya buat. Hardcover berikut dengan laptop saya tertinggal dirumah sakit karena mendadak anak dari teman saya sakit.”
“jadi, semua perlengkapan kamu tertinggal dirumah sakit”
“benar Pa”
Bapak dosen yang terus-terus an menanyaiku meminta pendapat dosen disebelahnya dan juga meminta pendapat Pa Joko. Mereka mendiskusikan bertiga.
“boleh minta nomor telefon teman kamu yang ada dirumah sakit?”
“bisa Pa” aku memberikan nomer telefeon vidi kepada Bapak tersebut. Menunggu keputusan Bapak-Bapak penyidang. Bapak tersebut segera menelefon nomor yang kuberikan. Menanyakan beberapa hal. Tidak perlu waktu yang lama, kemudian Beliau mendiskusikannya lagi dengan rekan-rekannya termasuk Pa Joko.
“Baiklah Jeni.. setelah kami diskusikan, Anda boleh melanjutkan sidang.” Pa Joko formal.
“Terima kasih sebelumnya kalau begitu langsung saja, saya ingin mempresentasikan aplikasi yang telah saya buat. Aplikasi Iqra lengkap dengan suara menggunakan android 2.2”
“tujuan membuat aplikasi ini adalah untuk mengefisiensikan pembelajaran iqra, sehingga pembelajaran tidak hanya berdasarkan buku melainkan bisa menggunakan handphone, selain itu menjadikan pembelajaran menjaddi efektif....”
            Agak hafal dengan semua materi presentasi yang ada di ppt ku. Benar kata orang, jika kita membuat aplikasi itu dengan jerih payah sendiri. Meski tidak membawa apapun, meski ditanya hal-hal yang aneh, kita pasti bisa menjawabnya dengan mudah. Tidak perlu ragu dengan jawaban sendiri. Selama itu memang yang kita lakukan dalam pembuatan skripsi.
            Aku bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Bapak-bapak penyidang dengan baik.
“aplikasi yang kamu buat, termasuk aplikasi yang menarik dan bagus. Bapak juga puas dengan presentasi kamu, walaupun kamu tidak membawa hardcover dan juga peralatan kamu yang lain. Kamu bisa mempresentasikannya dengan baik. Bapak sendiri merasa jelas dengan apa yang kamu presentasikan”
Aku tersenyum senang dan mengucapkan terimakasih atas pujian Bapak Dedi. Beliau Bapak penyidang yang dari awal aktif sekali menanyakanku.
“Apa ada pertanyaan lagi?”
“menurut Bapak sudah cukup, bagaimana dengan yang lain?” Pa Dedi menanyakannya kepada Pa Bilal. Pa Joko selaku dosen pembimbingku tidak memberikanku pertanyaan bahkan beliau membantuku agar Pa Dedi dan Pa Bilal memperbolehkanku melanjutkan sidang di awal waktu.
“sudah cukup”
“Baik Jeni, sepertinya sudah cukup. Jadi sidang sudah bisa ditutup” Pa joko memberikan keputusan.
            Aku menutup sidang dan pergi keluar ruangan. Rasanya lega sekali. Melepaskan nafas panjang.
“gimana-gimana?” puspa dan desy segera mendekatiku. Aku memberikan jempol kepada mereka berdua.
“hebaaat”
“bener kan, lu bisa”
            Tidak lama ka neo datang dari arah lift dan memberikanku tas jinjingku. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Lantas meminta ijin kepada panitia untuk kembali ke ruangan sidang. mereka memperbolehkanku.
“loh.. ada apa lagi jeni?”
“Maaf saya kembali lagi, kebetulan hardcover skripsi saya diambilkan teman dan baru saja sampai, jadi saya ingin memberikannya kepada Pa Joko, Pa Dedi, dan Pa Bilal” aku membagi hardcover skripsi ku diatas meja mereka.
“kalau begitu ini buat Bapak , boleh kan?”
“Boleh Pa”
            Aku kembali keluar ruangan dengan senyum merekah. Senang sekali dengan apa yang kulakukan barusan selama sidang. aku bisa mempresentasikannya dengan baik dan tidak ragu-ragu.
            Sama seperti halnya desy dan puspa. Aku menunggu namaku dipanggil untuk masuk kedalam ruangan pengumuman. Desy dan puspa bercerita kalau di dalam nanti kita akan mendengar beberapa pidato dari Bapak-Bapak Rektor, kemudian pidato tentang nasihat jika ada diantara kami yang tidak lulus untuk berbesar hati.
“jeni...” namaku dipanggil. Aku berdiri dan masuk kedalam ruangan itu. Berbaris diantara temam-teman seperjuanganku yang lain.
            Raut wajah kami penuh kecemasan. Aku tidak mengenal satupun wajah yang ada di dalam sini. Menunggu sampai nama-nama yang dipanggil selesai.
            Ada sekitar tiga orang Dosen yang berdiri dan naik keatas panggung, kemudian ada beberapa dosen yang berdiri disamping kami.
            Benar kata desy, suasana disini membuat kami menjadi cemas dan was-was. Takut kalau sampai aku tidak lulus.
            Pa Rektor berpidato panjang sekali. Aku tidak fokus untuk mendengarkannya, ingin sekali cepat mengetahui hasilnya. Lulus, lulus bersyarat, tidak lulus.
“Kelumpok A lulus, selamat” itu adalah kelumpokku. Namaku ada di barisan kelumpok itu. Kelumpok D terdiri dari empat orang dan semuanya tidak lulus. Aku tidak bisa senang begitu saja diatas kesedihan beberapa orang diangkatanku. Meski aku tidak mengenalnya aku merasa sedih. Laki-laki itu bahkan menangis, aku melihatnya.
            Keluar dengan senyum bahagia. “lulus?”
“iya..”
“aaa selamat sayang” desy dan puspa ganti memberiku ucapan selamat.
“ka neo mana?”
“ga tau”
“o iya.. mobil vidi biar aku aja yang bawa, kuncinya sini” puspa menyodorkan tangan meminta kunci mobil kepadaku.
“trus aku?”
“kamu sama pangeran kamu lah”
“ye..”
“tapi beneran pangeran kan”
“hahahaha..., ka neo mana sih?”
“tuh kan masih nanyain ka neo dimana” ledek desy.
“kamu apal plat mobilnya kan?” tanyanya lagi.
“apal”
“yaudah, kamu cari aja sendiri di parkiran. Aku sama desy langsung ya. Kita mampir rumah sakit dulu. Nengokin navita”
“bareeng..” menarik baju puspa. Mereka hampir meninggalkanku begitu saja.
“jeni sayang, kamu bareng ka neo bisa kan?”
“iya..., tapi nengokin navitanya”
“iyaa bareng. Kamu sama ka neo tapinya”
“ok”
Kami berpisah di parkiran. Berjanji bertemu di rumah sakit setengah jam lagi. Menemukan mobil ka neo. Ka neo ada didalam mobil melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. “kaka ko didalem?” aku masuk, duduk disampignya.
“congratulation...” dia memberiku seikat bunga mawar merah.
“aaa... emangnya aku lulus?”
“tanpa kamu bilang, kaka yakin kamu lulus”
“iii yakin banget”
“tapi bener kan?”
“iya.. makasi ka..”
“jadi kita rayain dimana nih?”
“kita ke rumah sakit aja. aku janji ketemu yang lain disana”
“ok”
            Sementara ka neo mengemudikannya aku menemukan sepucuk surat didalam mawar itu. Ka neo menyuruhku membacanya.

Dear jeni, kesayanganku
            2013 itu awal pertemuan kita
1 maret awal aku membawamu pulang kerumahmu
2 april, melihatmu mengenakan gaun putih di pernikahan sahabatmu, indah. Namun sendu dihatiku
12 juni aku membawamu dan mengikatku dalam janjiku, untukku.
            Tidak cukup untukku mewarnai semua tanggal di kalenderku. Semuanya berwarna semenjak mengenalmu.
Jeni kesayanganku.. happy birthdays

            Aku baru ingat hari ini hari ulang tahunku. Ka neo menunjukkan jok mobil dibelakangnya. Ada sebuah bingkisan berwarna pink baby. Kado ulang tahunku dari nya. Kembali membuka kejutan yang diberikan ka neo. Celemek memasak. Aku menanyainya heran. Dia meledekku, ingin aku belajar memasak?.
            Ka neo menyindirku yang terlihat agak tidak puas dengan hadiahnya. Bukan tidak puas dengan kado yang diberikan ka neo. Aku sedikit merasa kurang karena aku massih belum bisa membuatkannya makanan yang enak.
            Kembali aku diberikan kejutan oleh sahabatku. Aku yang tadinya berfikir kalau navita menginap ternyata dijadikan alasan untuk membohongiku. Ruangan yang tadinya navita tempati dijadikan pos sementara. Setelahnya kami pergi ke salah satu tempat makan yang paling kusukai dengan ka neo.
            Menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatku. Merayakan kelulusan dan ulang tahunku.
            Vidi tidak bisa tinggal lebih lama, dia harus segera pulang mengingat navita yang masih kecil. Seakan mengerti dan memberi waktu kepada ka neo. Desy dan puspa juga ijin absen lebih dulu.
“udah ga muat” tidak bisa menghabiskan es krim yang di belikan ka neo.
“jeni, ka neo minta satu permintaan sama kamu”
“apa ka?” Permintaan pertama yang ka neo minta setelah selama ini kami bersama.
“kamu pakai celemek yang kaka beli”
“sekarang?”
“iya..”
Berfikir sejenak dan tanpa malu-malu aku memakainya. Untung makannya di saung, jadi kenapa malu.
            Ka neo sudah mempersiapkan semuanya, tempat yang dia pesan. Makanan yang dia pesan. Semuanya romantis dan indah. Aku bisa meluruskan kakiku dan menjadi anak-anak yang manja dihadapannya.
“gimana?”
“sip” celemek yang ka neo beli pas sekali dengan ukuran badanku.
“itu..” ka neo menyuruhku memasukkan tanganku kedalam saku celemek yang ada di tengah dibagian depan. Aku merogohnya. Merasa sebuah cincin ada dijariku.
“...” tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meminta penjelasan ka neo.
“kamu mau kan?, jadi wanita yang masakin aku tiap hari?”
“eeh” aku tidak menduga kalau ka neo akan..., tidak sanggup membayangkannya. Ini..
“kamu mau jadi istri aku?”

Lamaran. Ka neo melamarku. Ke neo menunggu jawabanku. Aku memasukkan sendiri cincin itu kedalam jari manisku kemudian menyuapinya eskrimku. Ka neo mengelus lembut kepalaku, mengerti maksudku.

BUNGA (chapter 13 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

Dua minggu yang penuh misteri. Diantara kami sama sekali tidak ada yang berniat untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera. Aku tidak merasa ada yang salah dari hubunganku dengan jemi. Kecemburuanku denngan riri juga meredup dengan sendirinya. Kami bertemu, saling menyapa, masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya namun seperti ada sesuatu yang hilang. Setiap kali aku ingin menjelaskannya ka neo mengalihkan pembicaraanku.
            Aku harus menjelaskannya dengan cara apa. Di satu sisi aku tahu dia cemburu dengan jemi. Meski aku ingin dia bisa dekat dengan jemi sama seperti hubunganku dengan jemi namun rasanya tidak mungkin. Ada sesuatu dari jemi yang membuatnya cemburu dan merasa kurang didepanku. Dia cemburu namun dia menyikapinya dengan dewasa. Apakah arti dewasa seperti yang kamu lakukan sekarang ini ka neo?, diam dan coba percaya kepadaku. Meski kamu mengatakan kamu percaya kepadaku aku merasa ada keraguan darimu.
“jeni..”
“ya bu..”
            Minggu pagi, aku menyibukkan diri dengan mawar-mawar yang kutanam sendiri semenjak duduk dibangku kuliah. Berharap saat wisuda nanti aku mendapati bunga-bungaku mekar.
“neo ga dateng?”
“ga tau bu..”
“dia jarang ajak kamu pergi sekarang”
“mungkin sibuk bu”
“sibuk cari duit buat nikahin kamu kali” kakakku meledek.
            Seharusnya ka neo datang hari ini. Aku sudah berjanji akan mengenalkan ka neo dengan kakakku. Dengan sikon yang seperti ini aku tidak mau membuat nya lebih keruh lagi. Lebih baik kami sama-sama introspeksi diri, untuk kebaikan masing-masing tentunya. Semuanya masih terlalu abu-abu. Meskipun aku yakin akan perasaanku padanya. Meskipun ka neo menjanjikan sesuatu kepadaku. Aku tidak mau larut dengan semua itu. Aku ingin berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Kalau sampai semua ini hanya keputusasaan, aku akan sulit sekali melupakannya. Aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkannya dan mungkin tidak akan pernah bisa hilang. Paling tidak aku bisa move on.
            Ka neo laki-laki yang dewasa. Bagiku dia sudah cukup umur dan cukup bisa untuk menafkahi wanita yang ingin dia nikahi. Bagiku dia bisa saja memilih riri atau wanita lain dan segera melamarnya. Aku harus bisa bersikap dewasa karena laki-laki yang kucintai laki-laki yang sudah dewasa dan matang. Dia laki-laki yang pastinya merancang sesuatu dengan pasti.
“kayanya ada yang galau” kakakku duduk didekatku.
“kenapa?” tanya nya lagi.
“terkadang aku ga ngerti sama pikiran orang-orang kaya kaka”
“aku?, emang aku salah apa?” dia menunjuk dirinya sendiri.
“iya.. laki-laki seumuran kalian, sebenernya laki-laki yang emang udah dewasa atau pura-pura dewasa?”
“neo?”
“salah satunya”
“ribut?”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“selingkuh?”
“menurutku dia ga selingkuh ka. Tapi aku pengen dia bisa bikin aku yakin. Trus juga disisi akunya. Aku pengen dia dengerin penjelasan aku”
“kamu selingkuh”
“ga juga. Ya intinya lagi salah paham”
“susah kalo yang satunya nutup komunikasi”
“ya kan.. ka neo ga bilang dia ga percaya sama aku. Kita tetep pulang bareng, ketemu, ngobrol tapi aku ngerasa ada yang beda dari dia”
“takut”
“iya..”
“berarti kamu yang belum percaya sama dia de”
“trus harusnya?”
“percaya sama dia de. Mungkin neo emang cemburu sama kamu. Tapi kalo dia tetep touch in you. Dalam artian, dia tetep anterin kamu pulang, ngajak ngobrol walopun kamu ngerasa ada yang kurang. Dia ga ngejauhin kamu. Dia ngajak ngobrol tapi setiap kamu mau ngejelasin dia alihin ke hal yang lain atau bilang ga mau bahas tapi tetep kasih tau keseharian dia ngapain aja. artinya dia emang ga mau bahas”
“tapi aku takut ka”
“kamu takut kalo dia cemburu sama jemi kan”
“iya..”
“percaya sama dia. Mungkin yang terbaik emang ga harus dibahas kan. Lagipula buat apa dibahas kalo misal abis ngebahas kalian berdua malah berantem?”
Aku memikirkan perkataan kakakku. “iya ka” setuju dengan pendapatnya.
            Mungkin ini memang yang terbaik untuk saat ini. Bukan berarti hilang kepercayaan. Membatasi, membatasi agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Aku jarang melihat ekspresi ka neo saat marah, cemburu, sedih, kesal, dan lain-lain sebagainya dan aku memang ngarep buat bisa liat itu semua. Buat bisa lebih deket lagi sama ka neo, tapi aku juga ga mau jauh dari ka neo. Buat apa aku ngelakuin suatu hal kalo hasilnya malah bikin aku sama ka neo berantem atau malah tambah salah paham.
“jen.. ada telefon dari neo”
“ciee..” kakakku meledekku.
“baru juga diomongin bu” dia berteriak memberitahu.
Ka neo pasti mendengarnya, dasar, kakakku pasti sengaja biar ka neo denger.
“haloo”
“iyaa haloo” suara ka neo.
“hape kamu, kamu tinggal ya?”
“eh, o iya ka.. iya dikamar”
“pantes, ka neo dari tadi nelefon sama whatsap kamu ga dibales-bales”
“yah.. maaf ka”
“yaudah gapapa”
“kenapa ka?”
“kamu hari ini kosong?”
“kosong tapi hari ini aku pengen ngabisin waktu dirumah sama kakak aku ka.. kenapa?”
“oh gitu...” ka neo tidak menjawab pertanyaanku. Sama-sama diam.
“gimana kalo kaka main kerumah. Kakakku pengen kenal ka neo. Katanya ada kemungkinan ka neo kenalan kaka”
“hmmm.. yaudah, nanti jam sepuluh kaka dateng, kamu lagi pengen makan apa?” tanyanya lagi.
Dia masih saja menanyakan apa yang aku inginkan. Memperlakukanku dengan manja. Aku sungguh senang dengan perhatianmu ka neo..
“ko diem?, mikirin apa?”
“mikirin makanan ka..”
“hahaha.. dasar pipi gendut”’
“biarin.. dari pada kaka.. yang gendut perutnya. Ampe berlipet-lipet”
“wa.. songong ni ya”
“ehmm.. kaka gausah repot-repot. Nanti kaka masak masakan buatan aku aja”
“jadi kamu nih yang masak?, beneran bukan ibu kamu?”
“yaiyalah.. aku kan gini-gini bisa masak, dikiittt, baru mulai belajar”
“iya deh bu koki. Masaknya jangan gosong lagi”
“hahahaha.. tapi tetep aja dimakan abis ma kaka” ingat dengan hari dimana aku membuatkannya bekal untuk makan siangnya dikantor. Telur yang kugoreng agak sedikit gosong.

            Aku memberitahu keluargaku tentang niat ka Neo yang akan datang kerumah.
Ka neo datang membawa kue dan buah. Dia masih saja repot membawakan sesuatu untuk keluargaku. Mungkin dia malu kalau datang dengan tangan kosong.
            Kedatangan ka neo yang tadinya untukku sekarang didominasi kakakku. Mereka asik bermain di kamar kakakku, entah mereka mengobrol tentang apa, maklum teman lama. Yaah sesekali mengalah. Sudah sewajarnya kalau ka neo memang berniat serius denganku dia pasti melakukan pendekatan dengan lingkunganku dan juga keluargaku.
“sana anterin air sama makanan ke kamar kakakmu” ibu mengingatkan. Di atas meja makan tergeletak kue, buah, jus yang sudah siap diantar.
“nanti aja bu” aku masih sibuk dengan pohon mawarku. Memotong daun dan ranting yang layu dengan gunting. Membuatnya terlihat lebih rapih.
“anak gadis disuruh ibunya ngga nurut nih”
“iyaa-iyaa” aku beranjak ke dapur dan mengantarkan camilan untuk kakakku dan juga ka neo.
“tok tok, kaaa”
“ya jen.. masuk aja” suara kakakku dari balik pintu.
Aku masuk pelan-pelan, ka neo memberikan seulas senyum kepadaku. Kangennyaaa sama senyuman itu. Kangen sekali dengan ka neo.
“taruh situ aja” seakan menyuruhku untuk segera pergi. Aku menuruti perintah kakakku dan segera meninggalkan mereka berdua.
            Belum juga ngobrol sama ka neo. Kakakku udah bawa dia ke kamar dia. Curaaaang.
“ckreek” suara pintu kakakku terbuka. Ka neo keluar. Aku tersenyum melihatnya. dia berjalan mendekatiku dan mengusap rambutku pelan.
“kangen” ucapnya singkat.
“nanti kita makan berdua aja diluar ya” ka neo membisikkannya di telingaku.
“huum” mengangguk setuju, seperti kebiasaanku dan pergi meninggalkannya.
            Ini baru ka neo yang aku kenal. Sudah dua minggu ini dia baru mengelus rambutku sekarang. Dari caranya bicara juga sudah kembali seperti biasa. Aku juga kangen kamu ka neo, berbicara dalam hati.
“neo.. kamu ga makan dulu?”
“ga tante.. aku makan diluar aja. om tante, aku minta ijin ajak jeni keluar boleh?” tanyanya sopan.
Ayahku melihat jam tangannya. “jangan terlalu malam pulangnya ya” memberikan kami ijin.
Kami lantas berpamitan dan pergi. Dia dan kakakku dalam sekejap sudah seperti sahabat. Membuat salam tos seperti anak kecil.
“jagain adik gue yang bawel ya”
“tenang bro”
“ga jelas” melirik keduanya aneh.
“ha ha ha”
            Ka neo mengajakku makan malam ditempat baru lagi. Ini sudah keberapa kalinya dia mengajakku pergi ketempat-tempat yang baru. Apa aku yang terlalu kuper apa dia yang terlalu gaul.
“maafin kaka ya..” aku menatapnya. Kenapa malah ka neo yang meminta maaf sama aku.
“kaka udah salah paham sama kamu” aku masih menunggu kelanjutannya.
“kamu mungkin ngira kaka orangnya dewasa dan lain-lain tapi.. kaka sebenernya pencemburu. Kaka males banget liat kamu sama jemi deket. Udah gitu kepala kamu dielus dia. Kaka bener-bener ga suka. Awalnya kaka pengen belajar ngerti aja, gausah meledak-ledak. Usaha buat percaya sama kamu dan ga usah bahas ataupun apalah. Kaka pengen jadi kaya yang kamu pengenin tapi nyatanya ga bisa. Tetep aja kaka masih kayak anak kecil mungkin malah lebih bocah dari sikap kamu. Kamu aja bisa ngehendel rasa cemburu kamu sama riri masa kaka ga bisa ngehendel rasa cemburu kaka sama jemi”
Aku tertawa senang sekali mendengar penjelasannya. Dia terlihat seperti anak kecil. Sisi yang baru aku ketahui sekarang. Bahagianya melihat sisi nya yang lain.
“malah diketawain” ka neo menarik pipiku.
“aadddoow saakitt” ka neo melepas cubitannya dan mengelus kepalaku lagi.
“aaaaa” kali ini ka neo menyuapiku.
“seharusnya kaka bisa dengerin penjelasanku waktu itu”
“kaka ga mau ribut”
“kita emang ga ribut, tapi dua minggu aku ngerasa aneh ma kaka”
“iyaaaa.. makanya kaka minta maaf”
“ga diterima”
“permintaan maaf ditolak nih?”
“satu syaratnya... traktir aku makan eskrim”
“ha ha ha.. dasar anak kecil” seharian ini, ini ketiga kalinya ka neo mengelus kepalaku.
           
            Puspa dan desy beberapa kali memperhatikanku dan ka neo. “kamu dari tadi ngapain ama ka neo?, pake bahasa kalbu?” beberapa kali di kelas dan juga di luar kelas aku dan ka neo saling bertatapan. Terlihat seperti mengucapkan sesuatu, menurut desy dan puspa. Ternyata mereka menangkap bahasaku dengan ka neo. Kami memang saling mengirimi pesan dan saat kami tidak sengaja bertemu kami saling menatap penuh dengan senyuman.
“bahagia banget nih pasangan”
“ssssttt” menutup bibir puspa. Sejauh ini hubunganku dan ka neo memang sudah banyak yang mengetahuinya namun aku tidak ingin membuatnya menjadi heboh.
            Ka neo kembali berjalan melewatiku. Dia menunjuk lengannya beberapa kali mengingatkanku.
“mang mau kemana?, jam berapa?” desy mewawancaraiku.
“bukannya nanti kamu bantuin gue ma puspa buat skripsi kita?”
“lu janjian kemana?” puspa ikut mewawancaraiku.
“hhehe..”
“tuh kan.. jeni... kan lu janji hari ini mau bantu kita berdua. Gimana si lu”
“hhahaha”
“ketawa bae..” puspa sewot.
“lagian... sok teu sih... maksud dia tadi itu...., dia .... ada deh. Rahasia.. nanti kita tetep jadilah. Kan gue udah janji ma kalian”
“hmm kirain..”
“syukurdeh, gue takut kalo gue sampe ga lulus”
            Bunga-bunga itu tumbuh dihatiku ka neo. Bunga-bungamu... berwarna warni.