20 Jan 2015
BUMIL (chapter 15 Novel ' Sabtu yang kutunggu')
Begitulah,
satu minggu setelahnya ka neo datang dengan keluarganya melamarku. Semuanya
super ekspres dan serba cepat. Seperti yang kuduga, ka neo sudah merencanakan
semuanya dengan matang. Seminggu setelah pertemuan keluarga, seminggu dari
jarak itu kami menikah. Mengikat janji akad pernikahan kami.
Ka neo menikahiku yang baru saja
lulus sidang. Disaat yang lain sibuk mempersiapkan pakaian ataupun segala keperluan
wisuda mereka aku dengan dibantu sahabat-sahabatku disibukkan persiapan
pernikahanku.
Pernikahan bertemakan biru baby dan
pink baby. Aku memakai baju biru baby dan ka neo memakai pakaian berwarna pink
baby. Kami serasi sekali dipadu padankan dengan warna putih bersih.
Pernikahan yang sederhana.
Pernikahan yang kuinginkan sejak lama. Banyak diantara teman-teman ku yang
sudah menduga hubunganku dengan ka neo akan berakhir seperti ini.
Semuanya berlalu begitu saja. Awal
aku bertemu dengan ka neo, semua kejadian yang kami lalui bersama sampai
akhirnya kami bisa bersama.
“sayang”panggilan
ka neo berubah semenjak kami menikah. Aku tinggal dengannya di rumah baru kami
yang kecil. Beruntung sekali aku menikah
dengan laki-laki yang bahkan sudah memikirkan semuanya untukku, untuk
kebahagiaanku.
Aku membawakannya jus kiwi. Duduk
dipangkuannya, di depan meja kerjanya, manja.
“kamu
sedang apa?” melihat layar monitor leptopnya. Melihat foto-foto pernikahan kita
tiga hari yang lalu. Tertawa bersama melihat foto-foto kami.
“besok
kamu wisuda, tidur sayang” ka neo membelai pipiku.
“iya
sayang.. kamu kan juga harus tidur..., mata kamu udah kaya paaandaaa” aku
menekan kedua pipinya.
“sebentar
lagi, mas mau menyelesaikan
kerjaan dulu, sedikit lagi”
“hmm..
kalo gitu jangan lama-lama ya, besok kita long journey” aku mencium pipinya.
Mengingatkannya dengan honey moon kami yang tertunda.
Wisuda, dengan laki-laki yang sudah
menjadi suami dihidupku. Sebuah kebahagiaan yang tidak aku duga sebelumnya.
Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa kuutarakan secara lisan. Rasanya benar-benar
penuh warna, penuh senyuman, dan penuh kelegaan. Banyak sekali yang kurasakan.
Disaat yang lain sibuk mendandani diri mereka sendiri
untuk wisuda, aku sibuk membuatkan dasi di kemeja ka neo.
“terima
kasih” mencium keningku.
“mas,
aku cek dulu ya, takut ada yang ketinggalan”
“iya”
Aku
mengecek koper ku dan koper ka neo. Selesai acara wisuda kami berencana pergi
berlibur sekaligus honeymoon, hadiah dari orang tuaku. Orang tua ku bahagia
sekali melihatku yang sudah memiliki suami tidak lama setelah lulus sidang.
sesuai dengan yang diharapkannya.
Hari itu semua wajah terlihat
bahagia. Cerah sekali. Jika ada sebuah tangis yang turun, tangis itu tangis
kebahagiaan. Sama seperti halnya aku, aku bahagia sekali wisuda dengan ditemani
suamiku dan juga orang tuaku.
Vidi datang dengan membawa sertu dan
navita. Memberikan seikat bunga untukku.
“selamat
ya jen...” memelukku dan mencium pipiku.
“makasiii”
“yang
lain mana?”
“kepencar...
sumpek banget di..”
“iya..
makanya gue nunggu agak legaan, kasian navita” kulihat navita berada
digendongan sertu.
“dede...”
aku mengambilnya dari tangan sertu. Menggendongnya.
“bentar,
gue coba telefon mereka dulu” vidi merogoh tas nya dan menekan beberapa nomor.
“iya”
Aku menggendong navita dan
membawanya ke samping neo. Mencandainya. Ibuku mengambil navita dari tanganku.
Gemas sekali dengan navita.
Dari arah selatan desy dan puspa
muncul. Ditangan mereka banyak sekali bunga. Vidi mengambil bunga yang ada
dikereta dorong navita dan memberikannya kepada puspa dan juga desy. Kami
saling berpelukan satu sama lain.
“udah
tiga bulan, jadi gimana rasanya?” desy dan puspa penasaran, berbisik lirih. Aku
tersipu malu mendengar pertanyaan mereka. ragu untuk menjawab.
“mending
cepetan nikah deh, biar rasain sendiri” vidi membantuku menjawabnya.
“kalo
udah ada calonnya, gue siap”
“masalahnya
belum ada” Puspa dan desy kompak sekali saling melengkapi.
“ha
ha ha”
“jadi..
gimana?” kali ini ganti vidi menanyaiku, menunjuk perut.
“belum
tau” aku belum menunjukkan tanda-tanda debay di perutku.
“secepatnya...
biar desy sama puspa tambah tua punya dua keponakan, ntar lama-lama mereka
mikir deh, gue umur segini udah punya dua keponakan”
“sedih
bener.. padahal masih muda.. biarin aja di.. mereka kan calon wanita karir,
beda jalur ma kita”
“ada
segala jalur-jalur an jen?” puspa menanggapi ucapanku
“ada-ada
aja” desy menggelengkan kepala
“tapi
gue emang pengen jadi wanita karir dulu si, ngumpulin duit dulu yang banyak, kalo
dah bisa berkecukupan. Cukup satu rumah mewah, cukup mobil satu, cukup ini,
cukup itu, baru deh nikah” puspa membuat
list daftarnya satu-satu
“itu
mah maruk” aku dan vidi menimpuk kepalanya pelan.
“ha
ha ha” kami tertawa lepas sekali.
“nanti
gue ga bisa ikut kumpul-kumpul, gapapa kan?”
“mang
lu mau kemana?” puspa penasaran dengan ku yang jarang sekali melewati moment
bersama.
“yah
sayang banget ga ada lu jen” desy agak sedikit kecewa. Keningnya mengkerut.
“jangan
pada sedih gitu donk, ini kan juga buat kebahagiaan jeni juga, dia ma suami baru
mau honey moon tau, baru mau liburan” vidi yang sudah mengetahuinya lebih
dahulu menjelaskannya kepada puspa dan desy.
“oooowww....
waaaaaaa”
“jangan
keras-keras” aku malu sekali.
“jadi
kalian belum honeymoon?” puspa seakan tidak percaya.
“tapi
udah kan?” puspa melanjutkan.
Pertanyaannya
terlalu ekstrem bagiku. “ii ga boleh nanya-nanya” aku menyilangkan tangan
kepada puspa. Malu sekali.
“aku
doain semoga cepet ya jen” desy mengelus perutku. Geli karena elusannya aku
agak menjauhinya.
“hoek” tiba-tiba aku mual-mual tidak karuan.
Bingung kenapa mendadak seperti ini.
“BUMIIL”
ucap desy dan puspa kompak. Tanpa pikir panjang aku meminta ijin kepada ka neo
untuk pergi ke toilet. Ditemani dengan ketiga sahabatku.
Mereka bertiga benar-benar penasaran
apakah aku hamil atau tidak. Beruntungnya ada vidi yang sudah lebih dulu
pengalaman dari aku. Vidi mempunyai persediaan testpack di dompetnya.
Memberikannya satu kepadaku. Memintaku untuk segera mengeceknya.
Ayah, Ibuku, dan Ka neo sudah menungguku diluar sepertinya
mereka merasa cemas dan penasaran denganku. Mereka menungguku berbicara
“kayanya
honeymoon nya dipending deh, aku ..” belum selesai aku berbicara ka neo
memotongnya.
“kamu
hamil?” tanyanya antusias.
“iya..”
kedua orang tuaku dan ka neo lantas mengucapkan syukur. Aku memberikan hasil
testpack ku kepada mereka.
Namun rencana tetap berlanjut. Meski aku hamil, hari
itu kami tetap pergi honeymoon. Perjalananku baru dimulai dengan ka neo.
Merayakan kehamilanku.
BERLALU (chapter 14 Novel 'Sabtu yang kutunggu')
H-3
menuju sidang, panik bukan main. Segala sesuatunya harus sudah siap. Sudah
tidak ada kesalahan. Hardcover, penulisan, komputer, handphone, aplikasi juga
siap.
Aku membuat sebuah aplikasi
menggunakan android pemrograman, aplikasi untuk belajar iqra lengkap dengan
suara untuk anak sd dan juga balita. Aku sendiri tidak menyangka aku bisa
menyelesaikannya sendiri. Ka neo sering sekali menawariku bantuan untuk
mengerjakan skripsi. Aku selalu menolak tawarannya. Dia sendiri sama sekali
tidak tahu aplikasi yang aku buat. Aku tidak mau dibilang mencari keuntungan
karena dekat dengannya. Berusaha sendiri sebisa mungkin. Jangan manja dan ketergantungan
dengan laki-laki dalam hal ini,
karena ini skripsiku,
mungkin untuk hal-hal lain aku sering sekali ketergantungan dengan dia.
Kamu udah siap?, jangan
lupa berdoa. Jangan panik.
Tetep
aja panik. Kalo nanti aplikasinya ngadat gimana?
Kamu aneh-aneh aja,
sekarang ngadat ga?. Kamu cek dulu
Udah..
ga ada error, bug ada tapi masih dalam batas kewajaran
Kalau bisa bug nya juga
diilangin
Udah
coba, tapi massih belum bisa
Dosen atau temen-temen
kamu sadar ga ada bug nya?
Engga
ka, mereka malah bilang nya aplikasinya enteng banget. Padahal file gambar sama
file suaranya beribu-ribu, tapi jadinya juga Cuma 24,56kb
Itu bisa?, gimana caranya
Hoki
ka
Hahaha.. ada-ada aja,
yaudah kaka meeting dulu. Have a nice day cantik
Have
a great day handsome
Masa-masa terakhir. Semuanya
dipertaruhkan disini. Empat tahun kuliah dan semuanya ditentukan dari aplikasi
yang aku buat. Semoga semuanya berjalan lancar.
Aku beruntung mendapat jadwal sidang
hari ini, ini adalah kuota terakhir untuk angkatan kami yang bisa wisuda akhir
tahun. Setelah hari ini semuanya akan dapat jadwal wisuda tahun depan. Ini
dikarenakan terbatasnya kursi gedung wisuda.
Jam lima pagi aku sudah bersiap-siap
untuk berangkat ke gedung sidang. Vidi berjanji akan menjemputku. Dia ingin
menyemangatiku dan yang lain. Sudah pasti vidi tidak lulus tahun ini. Dia harus
mengulang satu semester. Aku senang dia tidak berkecil hati dan malah menyuport
kami.
“jen
ayo”
“haloo
naaviitaa” aku menyapa putri kecil vidi dan menaruhnya digendonganku.
“lu
sidang jam berapa?”
“jam
sembilan di”
“udah
siap?”
“siap
ga siap..., aku berangkat ayah.. ibu” mencium tangan ayah dan ibu. Meminta
restu keduanya.
Di dalam mobil aku terus-terus an
bermain dengan navita. Senang sekali bertemu dengan dia.
“navita
cepet banget gedenya”
“lu
aja yang lagi sibuk. Makanya ga pernah main”
“di..
kayanya navita anget deh” merasa ada yang aneh dengan suhu badan navita. aku
bukan seorang ibu tapi paling tidak tahu kalau ada yang aneh dengan navita.
“masa
si?” vidi mengulurkan tangannya, mengecek suhu badan navita. vidi lantas
meminggirkan mobilnya. “navita panas”
“ayo
bawa kerumah sakit”
Tapi
sidang kamu gimana?”
Aku dan vidi panik dengan kondisi navita saat ini.
Tanpa pikir panjang. Aku bertukar tempat dengan vidi dan membawa navita ke
sebuah rumah sakit terdekat.
Vidi menyuruhku meninggalkan mereka dan balik menuju
gedung sidang. masih ada waktu untuk sampai disana tepat tujuan.
“maafin
tante ya navita. abis siddang tante kesini” aku mencium kening navita.
“makasi
ya jen, lu hati-hati”
“ok”
Terburu-buru masuk kedalam mobil dan
segera membalik arah. Daerah Jakarta, daerah yang identik dengan macet. Kalau
sampai aku kena macet bisa gawat. Masa ga ikut sidang gara-gara kena macet.
Alasan yang ga logis.
Drrt...
ponselku terus-terusan bergetar dan berdering. Aku tidak sempat untuk
menyentuhnya.
Hal
yang kutakutkan terjadi. Aku terjebak macet. Ada perbaikan jalan di daerah
jatinegara. Pelebaran kali. Sepertinya aku harus melapor untuk pindah sidang ke
sesi selanjutnya. Semoga bisa.
Sampai di gedung sidang jam sepuluh
lewat. Aku melapor kepanitia bagian penjadwalan sidang. memberitahukan alasanku.
Mereka menerimanya dengan baik. Mengatakan sejujurnya tentang navita, kalau aku
hanya mengatakan tentang macet. Bisa jadi mereka tidak akan memberikanku ijin.
“kamu
kemana aja?” desy panik melihatku. Aku menceritakan kejadian sebelumnya
kepadanya.
“puspa
mana?”
“dia
lagi di dalem”
“lu
udah?”
“udah....
plong banget”
“waa
selamat ya”
“belum
juga pengumuman”
“tenang
lu pasti lulus”
“aamiin”
Puspa
keluar dengan wajah yang sangat bahagia. Sepertinya dia mendapatkan hal baik
ketika sidang.
Puspa menceritakan bagaimana Pak
Surip memuji aplikasi yang dibuatnya dan meminta aplikasinya untuk bahan
tambahan. Kebetulan pak surip sedang melakukan penelitian tentang aplikasi yang
dibuat oleh puspa hanya saja lebih kompleks.
Ada wajah-wajah puas namun ada
wajah-wajah panik. Suasana ruangan yang penuh dengan harap.
Aku menyuport teman-temanku yang
lain yang akan sidang. setidaknya dengan membuat mereka tenang itu juga akan
membuatku tenang nantinya. Entah kenapa aku merasa tenang dan santai. Nervous
hilang bergitu saja. Melihat mereka membuatku senang dan nyaman.
“untung
kamu masih boleh sidang jen”
“iya
ki... kalo misal harus sidang minggu depan, gue ga lulus bareng kalian”
“yang
ga bareng kan Cuma wisudanya, kalo lulus mah bareng”
“tetep
aja ki... moment nya itu yang paling ditunggu-tunggu”
Aku dengan teman-temanku yang lain
menunggu pengumuman di lantai satu. Menunggu nama mereka dipanggil satu persatu
memasuki ruangan. Puspa dan desy masuk kedalam ruangan tersebut, termasuk
beberapa teman-temanku yang lain.
Sembari menunggu puspa dan desy aku
menelefon vidi. Menanyakan keadaan navita. seperti bayi pada umumnya, ternyata
navita baik-baik saja, dia seperti itu karena dia akan bisa sesuatu. Awalnya
tidak mengerti dengan penjelasan vidi. Namun vidi menjelaskannya dengan
perlahan. Dia juga baru tahu sekarang. Ketika bayi panas atau sakit, biasanya
dia sedang tumbuh. Entah itu setelahnya bisa merangkak atau berbicara. Aneh,
satu kata yang terlontar langsung dariku.
“hei”
ka neo muncul begitu saja. Jongkok disampingku.
“kaka..”
tidak percaya kalau dia ada. Dia bilang hari ini dia meeting di bandung. Ada
project aplikasi bank yang harus segera diselesaikan.
“gimana?”
tanyanya
“sidang?
belum”
“ko
belum” mengernyitkan kening. Sama seperti yang kulakukan kepada puspa dan desy,
aku menceritakan kejadian sebelumnya.
“pantes,
ditelefon ga diangkat. Whatsap juga ga dibales”
Disela obrolanku dengan ka Neo,
puspa dan desy keluar dari ruangan itu. Raut muka mereka terlihat sedih.
Sepertinya mereka mengalami hal buruk.
“hai
ka” mereka menyapa ka neo.
“gimana?”
aku penasaran
“engga
jen..”
“bohong
ah! Jangan bohong” menggelitik desy dan puspa
“serius..”
desy dan puspa terlihat akan menangis. Sementara banyak disekeliling kami yang
tersenyum senang.
“yuk
pulang des”
“eh..
cerita dulu..” aku menarik tangan keduanya. Puspa mengibaskannya.
Kayanya
ga mungkin kalo mereka boongin aku, mereka aja gini.
“yaudah..
kan masih bisa taun depan” aku memeluk paksa keduanya. Kulihat desy hampir
menitikkan air mata.
“tapi
boong.. weeek” puspa meledekku, menjulurkan lidahnya kepadaku.
“aaah..
kan bohong.. jahat banget”
“lu
tuh gampang sih dikibulin”
“selamaaat
yaaaa” ganti mengucapkan nya dengan senang.
Mereka berdua memelukku senang. Ka
neo menyalami mereka dan teman-temanku. Mengucapkan selamat atas kelulusan
mereka. sama seperti ka neo, desy dan puspa tidak langsung pulang, menemaniku
menunggu sidang.
“jen,
hardcover kamu sama perlengkapan sidang kamu yang lain mana?”
Aku
baru sadar aku datang tidak dengan membawa apa-apa. “tunggu disini aja ya. Aku
ke mobil dulu” meminta mereka bertiga untuk tidak menemaniku.
Aku
sadar betul, semua perlengkapan sidangku tertinggal di rumah sakit. Ketika
membawa tas perlengkapan navita secara tidak sadar aku juga membawa tasku dan
aku kembali dengan tidak membawa apa-apa.
Gimana ini...., Ya Tuhan... kenapa
aku ceroboh banget.
“tuk!”
seseorang menimpuk kepalaku dengan buku.
“ah!”
menjerit seketika.
“kenapa?”
ka neo melirikku aneh. sekejap sebelumnya kukira vidi datang membawakannya
untukku, ternyata ka neo yang memukulku dengan buku miliknya.
“kamu
kenapa?” ka neo memerhatikanku yang menggeledah mobil. Mencari-cari sesuatu.
“jangan
bilang kamu lupa” seakan tahu apa yang aku cari.
Aku
mengangguk pelan. Mengiyakan perkiraannya.
“kayanya..
perlengkapan aku ketinggalan di rumah saakit”
“navita?”
“iya..,
gimana ni ka”putus asa.
Ceroboh sekali, ini moment-moment
yang udah lama aku tunggu-tunggu. Hari terakhir jadi anak kuliahan. Sekarang
kayanya aku harus ngulang tahun depan. Udah dibolehin gara-gara kejadian
sebelumnya, sekarang masa aku minta ijin lagi. Mau dibilang apa?.
“kamu
masuk keatas. Kaka yang ambil”
“maaf
ya ka”
“kenapa
minta maaf. Dasar cabiii” aku langsung menutup pipiku dengan kedua tanganku.
Menduga kalau ka neo akan mencubitnya.
“siapa
yang mau nyubit?” ka neo bukan mencubit pipiku melainkan mengelus kepalaku.
Aku kembali masuk kedalam gedung dan
duduk disamping desy dan juga puspa. Mereka heran melihatku datang dengan tidak
membawa apa yang mereka tanyakan.
“ketinggalan
di rumah sakit, tadi navita..”
“Ya
AMPUN JENI...”
“stttt”
desy membekap mulut puspa. Semua mata memperhatikan kami.
“kamu
kalo ngomong bisa pelan-pelan ga” sebelum aku menegur puspa, desy sudah
menegurnya lebih dulu.
“jangan
bikin jeni tambah panik” ucap desy lirih.
“maaf
jen” puspa sadar, dia membuatku tambah panik.
“kamu
pasti bisa jen.. kamu bawa handphone kamu kan?”
“bawa
des..”
“kamu
otodidak, langsung aja pake handphone kamu. Semoga dosen-dosennya pada ngertiin
kamu”
“iya..”
puspa setuju dengan usul desy.
“Mega..” Satu persatu nama kami
dipanggil. Satu persatu dari kami masuk kedalam ruangan tersebut. Setiap kali
nama lain yang dipanggil aku selalu merasa bersyukur. Aku berharap namaku
dipanggil tepat setelah ka neo datang. Untuk sampai kesini kurang lebih ka neo
butuh waktu satu jam.
Desy sudah menelefon vidi untuk
segera memberikan tasku kepada ka neo. Agar waktu yang terbuang semakin
singkat.
“Jeni..”
namaku dipanggil. Ka neo belum juga sampai. Padahal sudah tiga anak yang masuk
sebelumnya. Ragu untuk memasuki ruangan.
“Jeni...”
aku menatap kedua sahabatku bergantian dan berdiri, masuk kedalam ruangan.
Dihadapanku ketiga dosen duduk
dengan tenangnya. Pa Joko dosen pembimbingku.
“jeni,
mana hardcovernya?” Pa joko mengingatkan. Merasa aneh karena aku datang tanpa
membawa apapun.
“sebelumnya
saya ingin minta maaf kepada Bapak-Bapak Penyidang yang sudah datang, terlebih
kepada Pa Joko, selaku dosen pembimbing saya. Dikarenakan sebuah kejadian yang
tidak terduga, perlengkapan saya berikut dengan laptop untuk presentasi
tertinggal di sebuah tempat”
“kenapa
bisa begitu?” seorang dosen melepaskan bolpoinnya. Ragu dengan ku.
“jeni?”
Pa Joko kembali mempertanyakan.
“Jadi
begini Bapak-Bapak, saya tidak ingin menceritakan awal kejadiannya seperti apa.
Tapi saya mohon sekali dengan Bapak – Bapak untuk tetap menyidang saya hari
ini,meski saya hanya membawa handphone saya yang berisi aplikasi yang saya
buat. Hardcover berikut dengan laptop saya tertinggal dirumah sakit karena
mendadak anak dari teman saya sakit.”
“jadi,
semua perlengkapan kamu tertinggal dirumah sakit”
“benar
Pa”
Bapak
dosen yang terus-terus an menanyaiku meminta pendapat dosen disebelahnya dan
juga meminta pendapat Pa Joko. Mereka mendiskusikan bertiga.
“boleh
minta nomor telefon teman kamu yang ada dirumah sakit?”
“bisa
Pa” aku memberikan nomer telefeon vidi kepada Bapak tersebut. Menunggu
keputusan Bapak-Bapak penyidang. Bapak tersebut segera menelefon nomor yang
kuberikan. Menanyakan beberapa hal. Tidak perlu waktu yang lama, kemudian
Beliau mendiskusikannya lagi dengan rekan-rekannya termasuk Pa Joko.
“Baiklah
Jeni.. setelah kami diskusikan, Anda boleh melanjutkan sidang.” Pa Joko formal.
“Terima
kasih sebelumnya kalau begitu langsung saja, saya ingin mempresentasikan
aplikasi yang telah saya buat. Aplikasi Iqra lengkap dengan suara menggunakan
android 2.2”
“tujuan
membuat aplikasi ini adalah untuk mengefisiensikan pembelajaran iqra, sehingga
pembelajaran tidak hanya berdasarkan buku melainkan bisa menggunakan handphone,
selain itu menjadikan pembelajaran menjaddi efektif....”
Agak hafal dengan semua materi
presentasi yang ada di ppt ku. Benar kata orang, jika kita membuat aplikasi itu
dengan jerih payah sendiri. Meski tidak membawa apapun, meski ditanya hal-hal
yang aneh, kita pasti bisa menjawabnya dengan mudah. Tidak perlu ragu dengan
jawaban sendiri. Selama itu memang yang kita lakukan dalam pembuatan skripsi.
Aku bisa menjawab semua pertanyaan
yang diajukan oleh Bapak-bapak penyidang dengan baik.
“aplikasi
yang kamu buat, termasuk aplikasi yang menarik dan bagus. Bapak juga puas
dengan presentasi kamu, walaupun kamu tidak membawa hardcover dan juga
peralatan kamu yang lain. Kamu bisa mempresentasikannya dengan baik. Bapak
sendiri merasa jelas dengan apa yang kamu presentasikan”
Aku
tersenyum senang dan mengucapkan terimakasih atas pujian Bapak Dedi. Beliau
Bapak penyidang yang dari awal aktif sekali menanyakanku.
“Apa
ada pertanyaan lagi?”
“menurut
Bapak sudah cukup, bagaimana dengan yang lain?” Pa Dedi menanyakannya kepada Pa
Bilal. Pa Joko selaku dosen pembimbingku tidak memberikanku pertanyaan bahkan
beliau membantuku agar Pa Dedi dan Pa Bilal memperbolehkanku melanjutkan sidang
di awal waktu.
“sudah
cukup”
“Baik
Jeni, sepertinya sudah cukup. Jadi sidang sudah bisa ditutup” Pa joko
memberikan keputusan.
Aku menutup sidang dan pergi keluar
ruangan. Rasanya lega sekali. Melepaskan nafas panjang.
“gimana-gimana?”
puspa dan desy segera mendekatiku. Aku memberikan jempol kepada mereka berdua.
“hebaaat”
“bener
kan, lu bisa”
Tidak lama ka neo datang dari arah
lift dan memberikanku tas jinjingku. Aku menerimanya dan mengucapkan terima
kasih kepadanya. Lantas meminta ijin kepada panitia untuk kembali ke ruangan
sidang. mereka memperbolehkanku.
“loh..
ada apa lagi jeni?”
“Maaf
saya kembali lagi, kebetulan hardcover skripsi saya diambilkan teman dan baru
saja sampai, jadi saya ingin memberikannya kepada Pa Joko, Pa Dedi, dan Pa
Bilal” aku membagi hardcover skripsi ku diatas meja mereka.
“kalau
begitu ini buat Bapak , boleh kan?”
“Boleh
Pa”
Aku kembali keluar ruangan dengan
senyum merekah. Senang sekali dengan apa yang kulakukan barusan selama sidang.
aku bisa mempresentasikannya dengan baik dan tidak ragu-ragu.
Sama seperti halnya desy dan puspa.
Aku menunggu namaku dipanggil untuk masuk kedalam ruangan pengumuman. Desy dan
puspa bercerita kalau di dalam nanti kita akan mendengar beberapa pidato dari
Bapak-Bapak Rektor, kemudian pidato tentang nasihat jika ada diantara kami yang
tidak lulus untuk berbesar hati.
“jeni...”
namaku dipanggil. Aku berdiri dan masuk kedalam ruangan itu. Berbaris diantara
temam-teman seperjuanganku yang lain.
Raut wajah kami penuh kecemasan. Aku
tidak mengenal satupun wajah yang ada di dalam sini. Menunggu sampai nama-nama
yang dipanggil selesai.
Ada sekitar tiga orang Dosen yang
berdiri dan naik keatas panggung, kemudian ada beberapa dosen yang berdiri
disamping kami.
Benar kata desy, suasana disini
membuat kami menjadi cemas dan was-was. Takut kalau sampai aku tidak lulus.
Pa Rektor berpidato panjang sekali.
Aku tidak fokus untuk mendengarkannya, ingin sekali cepat mengetahui hasilnya.
Lulus, lulus bersyarat, tidak lulus.
“Kelumpok
A lulus, selamat” itu adalah kelumpokku. Namaku ada di barisan kelumpok itu. Kelumpok
D terdiri dari empat orang dan semuanya tidak lulus. Aku tidak bisa senang
begitu saja diatas kesedihan beberapa orang diangkatanku. Meski aku tidak
mengenalnya aku merasa sedih. Laki-laki itu bahkan menangis, aku melihatnya.
Keluar dengan senyum bahagia.
“lulus?”
“iya..”
“aaa
selamat sayang” desy dan puspa ganti memberiku ucapan selamat.
“ka
neo mana?”
“ga
tau”
“o
iya.. mobil vidi biar aku aja yang bawa, kuncinya sini” puspa menyodorkan
tangan meminta kunci mobil kepadaku.
“trus
aku?”
“kamu
sama pangeran kamu lah”
“ye..”
“tapi
beneran pangeran kan”
“hahahaha...,
ka neo mana sih?”
“tuh
kan masih nanyain ka neo dimana” ledek desy.
“kamu
apal plat mobilnya kan?” tanyanya lagi.
“apal”
“yaudah,
kamu cari aja sendiri di parkiran. Aku sama desy langsung ya. Kita mampir rumah
sakit dulu. Nengokin navita”
“bareeng..”
menarik baju puspa. Mereka hampir meninggalkanku begitu saja.
“jeni
sayang, kamu bareng ka neo bisa kan?”
“iya...,
tapi nengokin navitanya”
“iyaa
bareng. Kamu sama ka neo tapinya”
“ok”
Kami berpisah di parkiran. Berjanji bertemu di rumah
sakit setengah jam lagi. Menemukan mobil ka neo. Ka neo ada didalam mobil
melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. “kaka ko didalem?” aku masuk, duduk
disampignya.
“congratulation...”
dia memberiku seikat bunga mawar merah.
“aaa...
emangnya aku lulus?”
“tanpa
kamu bilang, kaka yakin kamu lulus”
“iii
yakin banget”
“tapi
bener kan?”
“iya..
makasi ka..”
“jadi
kita rayain dimana nih?”
“kita
ke rumah sakit aja. aku janji ketemu yang lain disana”
“ok”
Sementara ka neo mengemudikannya aku
menemukan sepucuk surat didalam mawar itu. Ka neo menyuruhku membacanya.
Dear jeni,
kesayanganku
2013 itu awal pertemuan kita
1 maret awal aku
membawamu pulang kerumahmu
2 april, melihatmu
mengenakan gaun putih di pernikahan sahabatmu, indah. Namun sendu dihatiku
12 juni aku
membawamu dan mengikatku dalam janjiku, untukku.
Tidak cukup untukku mewarnai semua
tanggal di kalenderku. Semuanya berwarna semenjak mengenalmu.
Jeni
kesayanganku.. happy birthdays
Aku baru ingat hari ini hari ulang
tahunku. Ka neo menunjukkan jok mobil dibelakangnya. Ada sebuah bingkisan
berwarna pink baby. Kado ulang tahunku dari nya. Kembali membuka kejutan yang
diberikan ka neo. Celemek memasak. Aku menanyainya heran. Dia meledekku, ingin
aku belajar memasak?.
Ka neo menyindirku yang terlihat
agak tidak puas dengan hadiahnya. Bukan tidak puas dengan kado yang diberikan
ka neo. Aku sedikit merasa kurang karena aku massih belum bisa membuatkannya
makanan yang enak.
Kembali aku diberikan kejutan oleh
sahabatku. Aku yang tadinya berfikir kalau navita menginap ternyata dijadikan
alasan untuk membohongiku. Ruangan yang tadinya navita tempati dijadikan pos
sementara. Setelahnya kami pergi ke salah satu tempat makan yang paling kusukai
dengan ka neo.
Menghabiskan waktu bersama ketiga
sahabatku. Merayakan kelulusan dan ulang tahunku.
Vidi tidak bisa tinggal lebih lama,
dia harus segera pulang mengingat navita yang masih kecil. Seakan mengerti dan
memberi waktu kepada ka neo. Desy dan puspa juga ijin absen lebih dulu.
“udah
ga muat” tidak bisa menghabiskan es krim yang di belikan ka neo.
“jeni,
ka neo minta satu permintaan sama kamu”
“apa
ka?” Permintaan pertama yang ka neo minta setelah selama ini kami bersama.
“kamu
pakai celemek yang kaka beli”
“sekarang?”
“iya..”
Berfikir
sejenak dan tanpa malu-malu aku memakainya. Untung makannya di saung, jadi
kenapa malu.
Ka neo sudah mempersiapkan semuanya,
tempat yang dia pesan. Makanan yang dia pesan. Semuanya romantis dan indah. Aku
bisa meluruskan kakiku dan menjadi anak-anak yang manja dihadapannya.
“gimana?”
“sip”
celemek yang ka neo beli pas sekali dengan ukuran badanku.
“itu..”
ka neo menyuruhku memasukkan tanganku kedalam saku celemek yang ada di tengah
dibagian depan. Aku merogohnya. Merasa sebuah cincin ada dijariku.
“...”
tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meminta penjelasan ka neo.
“kamu
mau kan?, jadi wanita yang masakin aku tiap hari?”
“eeh”
aku tidak menduga kalau ka neo akan..., tidak sanggup membayangkannya. Ini..
“kamu
mau jadi istri aku?”
Lamaran.
Ka neo melamarku. Ke neo menunggu jawabanku. Aku memasukkan sendiri cincin itu
kedalam jari manisku kemudian menyuapinya eskrimku. Ka neo mengelus lembut
kepalaku, mengerti maksudku.
BUNGA (chapter 13 Novel 'Sabtu yang kutunggu')
Dua
minggu yang penuh misteri. Diantara kami sama sekali tidak ada yang berniat
untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera. Aku tidak merasa ada yang salah
dari hubunganku dengan jemi. Kecemburuanku denngan riri juga meredup dengan
sendirinya. Kami bertemu, saling menyapa, masih sama dengan yang
sebelum-sebelumnya namun seperti ada sesuatu yang hilang. Setiap kali aku ingin
menjelaskannya ka neo mengalihkan pembicaraanku.
Aku harus menjelaskannya dengan cara
apa. Di satu sisi aku tahu dia cemburu dengan jemi. Meski aku ingin dia bisa
dekat dengan jemi sama seperti hubunganku dengan jemi namun rasanya tidak
mungkin. Ada sesuatu dari jemi yang membuatnya cemburu dan merasa kurang
didepanku. Dia cemburu namun dia menyikapinya dengan dewasa. Apakah arti dewasa
seperti yang kamu lakukan sekarang ini ka neo?, diam dan coba percaya kepadaku.
Meski kamu mengatakan kamu percaya kepadaku aku merasa ada keraguan darimu.
“jeni..”
“ya
bu..”
Minggu pagi, aku menyibukkan diri dengan
mawar-mawar yang kutanam
sendiri semenjak duduk dibangku kuliah. Berharap saat wisuda nanti aku
mendapati bunga-bungaku mekar.
“neo
ga dateng?”
“ga
tau bu..”
“dia
jarang ajak kamu pergi sekarang”
“mungkin
sibuk bu”
“sibuk
cari duit buat nikahin kamu kali” kakakku meledek.
Seharusnya ka neo datang hari ini.
Aku sudah berjanji akan mengenalkan ka neo dengan kakakku. Dengan sikon yang
seperti ini aku tidak mau membuat nya lebih keruh lagi. Lebih baik kami
sama-sama introspeksi diri, untuk kebaikan masing-masing tentunya. Semuanya
masih terlalu abu-abu. Meskipun aku yakin akan perasaanku padanya.
Meskipun ka neo menjanjikan
sesuatu kepadaku. Aku tidak mau larut dengan semua itu. Aku ingin berjalan dan
mengalir dengan sendirinya. Kalau sampai semua ini hanya keputusasaan, aku akan
sulit sekali melupakannya. Aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkannya dan mungkin tidak akan pernah bisa hilang. Paling tidak aku
bisa move on.
Ka neo laki-laki yang dewasa. Bagiku
dia sudah cukup umur dan cukup bisa untuk menafkahi wanita yang ingin dia
nikahi. Bagiku dia bisa saja memilih riri atau wanita lain dan segera
melamarnya. Aku harus bisa bersikap dewasa karena laki-laki yang kucintai
laki-laki yang sudah dewasa dan matang. Dia laki-laki yang pastinya merancang
sesuatu dengan pasti.
“kayanya
ada yang galau” kakakku duduk didekatku.
“kenapa?”
tanya nya lagi.
“terkadang
aku ga ngerti sama pikiran orang-orang kaya kaka”
“aku?,
emang aku salah apa?” dia menunjuk dirinya sendiri.
“iya..
laki-laki seumuran kalian, sebenernya laki-laki yang emang udah dewasa atau
pura-pura dewasa?”
“neo?”
“salah
satunya”
“ribut?”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“selingkuh?”
“menurutku
dia ga selingkuh ka. Tapi aku pengen dia bisa bikin aku yakin. Trus juga disisi
akunya. Aku pengen dia dengerin penjelasan aku”
“kamu
selingkuh”
“ga
juga. Ya intinya lagi salah paham”
“susah
kalo yang satunya nutup komunikasi”
“ya
kan.. ka neo ga bilang dia ga percaya sama aku. Kita tetep pulang bareng,
ketemu, ngobrol tapi aku ngerasa ada yang beda dari dia”
“takut”
“iya..”
“berarti
kamu yang belum percaya sama dia de”
“trus
harusnya?”
“percaya
sama dia de. Mungkin neo emang cemburu sama kamu. Tapi kalo dia tetep touch in
you. Dalam artian, dia tetep anterin kamu pulang, ngajak ngobrol walopun kamu
ngerasa ada yang kurang. Dia ga ngejauhin kamu. Dia ngajak ngobrol tapi setiap
kamu mau ngejelasin dia alihin ke hal yang lain atau bilang ga mau bahas tapi
tetep kasih tau keseharian dia ngapain aja. artinya dia emang ga mau bahas”
“tapi
aku takut ka”
“kamu
takut kalo dia cemburu sama jemi kan”
“iya..”
“percaya
sama dia. Mungkin yang terbaik emang ga harus dibahas kan. Lagipula buat apa
dibahas kalo misal abis ngebahas kalian berdua malah berantem?”
Aku
memikirkan perkataan kakakku. “iya ka” setuju dengan pendapatnya.
Mungkin ini memang yang terbaik
untuk saat ini. Bukan berarti hilang kepercayaan. Membatasi, membatasi agar
tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Aku jarang melihat ekspresi ka
neo saat marah, cemburu, sedih, kesal, dan lain-lain sebagainya dan aku memang
ngarep buat bisa liat itu semua. Buat bisa lebih deket lagi sama ka neo, tapi
aku juga ga mau jauh dari ka neo. Buat apa aku ngelakuin suatu hal kalo
hasilnya malah bikin aku sama ka neo berantem atau malah tambah salah paham.
“jen..
ada telefon dari neo”
“ciee..”
kakakku meledekku.
“baru
juga diomongin bu” dia berteriak memberitahu.
Ka
neo pasti mendengarnya, dasar, kakakku pasti sengaja biar ka neo denger.
“haloo”
“iyaa
haloo” suara ka neo.
“hape
kamu, kamu tinggal ya?”
“eh,
o iya ka.. iya dikamar”
“pantes,
ka neo dari tadi nelefon sama whatsap kamu ga dibales-bales”
“yah..
maaf ka”
“yaudah
gapapa”
“kenapa
ka?”
“kamu
hari ini kosong?”
“kosong
tapi hari ini aku pengen ngabisin waktu dirumah sama kakak aku ka.. kenapa?”
“oh
gitu...” ka neo tidak menjawab pertanyaanku. Sama-sama diam.
“gimana
kalo kaka main kerumah. Kakakku pengen kenal ka neo. Katanya ada kemungkinan ka
neo kenalan kaka”
“hmmm..
yaudah, nanti jam sepuluh kaka dateng, kamu lagi pengen makan apa?” tanyanya
lagi.
Dia
masih saja menanyakan apa yang aku inginkan. Memperlakukanku dengan manja. Aku
sungguh senang dengan perhatianmu ka neo..
“ko
diem?, mikirin apa?”
“mikirin
makanan ka..”
“hahaha..
dasar pipi gendut”’
“biarin..
dari pada kaka.. yang gendut perutnya. Ampe berlipet-lipet”
“wa..
songong ni ya”
“ehmm..
kaka gausah repot-repot. Nanti kaka masak masakan buatan aku aja”
“jadi
kamu nih yang masak?, beneran bukan ibu kamu?”
“yaiyalah..
aku kan gini-gini bisa masak, dikiittt, baru mulai belajar”
“iya
deh bu koki. Masaknya jangan gosong lagi”
“hahahaha..
tapi tetep aja dimakan abis ma kaka” ingat dengan hari dimana aku membuatkannya
bekal untuk makan siangnya dikantor. Telur yang kugoreng agak sedikit gosong.
Aku memberitahu keluargaku tentang niat ka Neo yang akan datang kerumah.
Ka
neo datang membawa kue dan buah. Dia masih saja repot membawakan sesuatu untuk
keluargaku. Mungkin dia malu kalau datang dengan tangan kosong.
Kedatangan ka neo yang tadinya
untukku sekarang didominasi kakakku. Mereka asik bermain di kamar kakakku, entah mereka mengobrol tentang apa, maklum teman lama. Yaah
sesekali mengalah. Sudah sewajarnya kalau ka neo memang berniat serius denganku
dia pasti melakukan pendekatan dengan lingkunganku dan juga keluargaku.
“sana
anterin air sama makanan
ke kamar kakakmu” ibu mengingatkan. Di atas meja makan tergeletak kue, buah,
jus yang sudah siap diantar.
“nanti
aja bu” aku masih sibuk dengan pohon mawarku. Memotong daun dan ranting yang
layu dengan gunting. Membuatnya terlihat lebih rapih.
“anak
gadis disuruh ibunya ngga nurut nih”
“iyaa-iyaa”
aku beranjak ke dapur dan mengantarkan camilan untuk kakakku dan juga ka neo.
“tok
tok, kaaa”
“ya
jen.. masuk aja” suara kakakku dari balik pintu.
Aku
masuk pelan-pelan, ka neo memberikan seulas senyum kepadaku. Kangennyaaa sama senyuman itu.
Kangen sekali dengan ka neo.
“taruh
situ aja” seakan menyuruhku untuk segera pergi. Aku menuruti perintah kakakku
dan segera meninggalkan mereka berdua.
Belum juga ngobrol sama ka neo.
Kakakku udah bawa dia ke kamar dia. Curaaaang.
“ckreek”
suara pintu kakakku terbuka. Ka neo keluar. Aku tersenyum melihatnya. dia
berjalan mendekatiku dan mengusap rambutku pelan.
“kangen”
ucapnya singkat.
“nanti
kita makan berdua aja diluar ya” ka neo membisikkannya di telingaku.
“huum”
mengangguk setuju, seperti kebiasaanku dan pergi meninggalkannya.
Ini baru ka neo yang aku kenal.
Sudah dua minggu ini dia baru mengelus rambutku sekarang. Dari caranya bicara
juga sudah kembali seperti biasa. Aku juga kangen kamu ka neo, berbicara dalam
hati.
“neo..
kamu ga makan dulu?”
“ga
tante.. aku makan diluar aja. om tante, aku minta ijin ajak jeni keluar boleh?”
tanyanya sopan.
Ayahku
melihat jam tangannya. “jangan terlalu malam pulangnya ya” memberikan kami
ijin.
Kami
lantas berpamitan dan pergi. Dia dan kakakku dalam sekejap sudah seperti
sahabat. Membuat salam tos seperti anak kecil.
“jagain
adik gue yang bawel ya”
“tenang
bro”
“ga
jelas” melirik keduanya aneh.
“ha
ha ha”
Ka neo mengajakku makan malam
ditempat baru lagi. Ini sudah keberapa kalinya dia mengajakku pergi
ketempat-tempat yang baru. Apa aku yang terlalu kuper apa dia yang terlalu
gaul.
“maafin
kaka ya..” aku menatapnya. Kenapa malah ka neo yang meminta maaf sama aku.
“kaka
udah salah paham sama kamu” aku masih menunggu kelanjutannya.
“kamu
mungkin ngira kaka orangnya dewasa dan lain-lain tapi.. kaka sebenernya
pencemburu. Kaka males banget liat kamu sama jemi deket. Udah gitu kepala kamu
dielus dia. Kaka bener-bener ga suka. Awalnya kaka pengen belajar ngerti aja,
gausah meledak-ledak. Usaha buat percaya sama kamu dan ga usah bahas ataupun
apalah. Kaka pengen jadi kaya yang kamu pengenin tapi nyatanya ga bisa. Tetep
aja kaka masih kayak
anak kecil mungkin malah lebih bocah dari sikap kamu. Kamu aja bisa ngehendel
rasa cemburu kamu sama riri masa kaka ga bisa ngehendel rasa cemburu kaka sama
jemi”
Aku
tertawa senang sekali mendengar penjelasannya. Dia terlihat seperti anak kecil.
Sisi yang baru aku ketahui sekarang. Bahagianya melihat sisi nya yang lain.
“malah
diketawain” ka neo menarik pipiku.
“aadddoow
saakitt” ka neo melepas cubitannya dan mengelus kepalaku lagi.
“aaaaa”
kali ini ka neo menyuapiku.
“seharusnya
kaka bisa dengerin penjelasanku waktu itu”
“kaka
ga mau ribut”
“kita
emang ga ribut, tapi dua minggu aku ngerasa aneh ma kaka”
“iyaaaa..
makanya kaka minta maaf”
“ga
diterima”
“permintaan
maaf ditolak nih?”
“satu
syaratnya... traktir aku makan eskrim”
“ha
ha ha.. dasar anak kecil” seharian ini, ini ketiga kalinya ka neo mengelus
kepalaku.
Puspa
dan desy beberapa kali memperhatikanku dan ka neo. “kamu dari tadi ngapain ama
ka neo?, pake bahasa kalbu?” beberapa kali di kelas dan juga di luar kelas aku
dan ka neo saling bertatapan. Terlihat seperti mengucapkan sesuatu, menurut
desy dan puspa. Ternyata mereka menangkap bahasaku dengan ka neo. Kami memang
saling mengirimi pesan dan saat kami tidak sengaja bertemu kami saling menatap
penuh dengan senyuman.
“bahagia
banget nih pasangan”
“ssssttt”
menutup bibir puspa. Sejauh ini hubunganku dan ka neo memang sudah banyak yang
mengetahuinya namun aku tidak ingin membuatnya menjadi heboh.
Ka neo kembali berjalan melewatiku.
Dia menunjuk lengannya beberapa kali mengingatkanku.
“mang
mau kemana?, jam berapa?” desy mewawancaraiku.
“bukannya
nanti kamu bantuin gue ma puspa buat skripsi kita?”
“lu
janjian kemana?” puspa ikut mewawancaraiku.
“hhehe..”
“tuh
kan.. jeni... kan lu janji hari ini mau bantu kita berdua. Gimana si lu”
“hhahaha”
“ketawa
bae..” puspa sewot.
“lagian...
sok teu sih... maksud dia tadi itu....,
dia .... ada deh. Rahasia.. nanti kita tetep jadilah. Kan gue udah janji ma
kalian”
“hmm
kirain..”
“syukurdeh,
gue takut kalo gue sampe ga lulus”
Bunga-bunga
itu tumbuh dihatiku ka neo. Bunga-bungamu... berwarna warni.