Ka
neo mengajakku pergi jalan-jalan hari ini. Dia menjemputku jam tujuh pagi dan
meminta ijin kepada kedua orangtuaku. Sopan sekali dan mengerti anggah ungguh,
begitu ucap ayahku.
Ka neo mengambil tas yang kubawa dan
menaruhnya dibagasi. Bekal yang sudah kubuatkan tadi pagi untuknya. Kita
seperti sepasang pasangan yang pergi berlibur.
“kamu
hari ini mau kemana?”
“ka
neo gimana.. kan ka neo yang ngajak aku semalem”
“kaka rencanya ke dufan, gapapa?”
“ayook”
Weekend membuat kami tidak terlalu
terkena macet. Ka neo masuk dengan menggandeng tanganku. Aku juga sudah
terbiasa bergandengan tangan dengannya.
“kamu
mau naik apa?”
“ka..
ka.. naik halilintar” aku bersemangat sekali.
“ayo...”
kami agak berlari kecil menuju wahana yang ingin kami naiki. Lumayan. Antrian
yang cukup panjang.
“kaka
udah ngeduga nih bakalan gini, makanya tadi agak ragu juga ajak kamunya”
“gapapa
ka..”
Sembari
menunggu antrian kami mengoobrol panjang.
Aku duduk disampingnya. Jujur, aku
takut sekali. Kereta berjalan. Aku menutup mataku.
“aaaaaa”
berteriak kencang
“huuuufh”
tidak begitu lama.
“masa
kamu tutup mata”
“biarin,
kan takut”
“liat
nih foto kamu..”
“udah
ayoo..” aku berusaha menarik tangan ka neo..
“mba.
Saya cetak yang ini satu ya..”
“kaka..”
“buat
kenang-kenangan. Kamu lucu banget disini”
Selesai dengan wahana halilintar
kami menaiki wahana-wahana yang lain. Selalu lama dibagian antriannya. Tidak membosankan
karena ka neo yang berada disampingku.
“kita
istirahat dulu ka. Kaka mau makan?”
“yuk.
Laper” ka neo mengusap perutnya.
“ya...
aku lupa.. kan makanannya ada dibagasi”
“o
iya.. kaka juga lupa tadi ga ngeluarin. Yaudah kita makan di cafe-cafe aja. kamu
pengen makan apa?”
Akhirnya kami makan disebuah kafe.
Susah payah aku membuat makanan untuk ka neo. Tapi malah tidak dimakan sama
sekali.
“udah
jangan cemberut. Nanti kaka makan bekalnya”
“kalo
ga bauu”
“udah
ah, nanti manisnya ilang”
Kami keluar dari dufan sekitar jam
tujuh malam. Cukup puas meski hanya menaiki beberapa wahana. Aku juga berhasil
mengabadikan momen-moment ini bersamanya.
“kita
pergi ke pantainya sebentar ya.. kaka tau tempat yang enak buat liat
pemandangan malem” ka neo mengarahkan mobilnya menyusuri sepanjang jalan sampai
ke ujung. Benar kata ka neo. Tempatnya bersih, enak, dan nyaman.
“yuk”
dia mengajakku turun. Mengambil tas yang ada di bagasi.
“kita
duduk disana aja” ka neo menunjuk sebuah tempat yang kosong.
Aku
mengikutinya dari belakang.
Ada sebuah band yang sedang tampil
dipanggung. Sepertinya band yang belum terkenal namun suaranya merdu.
Ka neo membuka tasku dan
mengeluarkan tupperware-tupperware yang ada didalamnya. Membukanya satu
persatu.
“ga
bau” ucapnya setelah menciumi makanan yang kubuat.
“kalo
gitu kaka makan ya.. itadakimas...” ucapnya.
Dia
memakan masakanku dengan lahap.
“enak”
ucapnya lagi dengan mulut penuh dengan nasi.
“kaka
makannya pelan-pelan ah” aku mengingatkannya.
Kamu baik banget sih, ngerti banget kalo
kamu sampe ga makan, aku bakalan sedih. Ka neo.. aku sayang banget sama kaka,
aku mengucapkannya dalam hati.
“hayoo
ngelamunin apa?”
“engga”
“aku
mau nanti kamu setiap hari masakain aku makanan”
“ehm”
aku mengangguk senang
“abis
ini kita jalan-jalan di tepi pantai...”
Ka neo menghabiskan bekal yang
kubuat. Kami berjalan bersampingan dan menyusuri tepi pantai. Pemandangan malam
yang indah dengan ka neo disampingku.
“jen..
kaka mau bicara serius” masih dengan menggenggam tanganku. Aku tidak
menjawabnya. Hanya menunggu ucapannya.
“kaka
ga akan minta kamu jadi pacar kaka” dia menatap wajahku. Sedikit mengerutkan
kening. Ini adalah hal yang selama ini kutunggu-tunggu.
“kamu
mungkin suka berfikir. Hubungan kita ini apa?. Aku ini siapanya dia?. Aku sama
dia kan ga ada apa-apa”
Aku
mengangguk mendengar ucapannya.
“kamu
jangan mikir hal kaya gitu lagi. Kamu buat ka neo itu something. Something yang
harus ka neo jaga”
“maksudnya”
aku meminta penjelasan.
“ka
neo udah bukan anak remaja lagi. Yang ngajakin kamu pacaran. Kalaupun ada pemikiran seperti itu,
ka neo pengen kamu jadi istri ka neo”
Deg.deg.deg..
serasa jantungku ingin copot. Istri. Ka neo. Aku bahagia sekali mendengarnya.
“tapi
ga sekarang. Ka neo mau kamu fokus sama kuliah kamu. Kaka juga udah bilang sama
kedua orang tua kamu. Mereka setuju asalkan kamu menyelesaikan kuliah kamu dulu”
“orang
tua aku?. Kapan?” aku sama sekali tidak tahu ada kejadian seperti ini.
“waktu
kamu dirumah sakit. Ka neo sudah meminta ijin kepada Ayah dan Ibu kamu”
Mengingat-ngingat
dengan pertanyaan-pertanyaan ayah yang mulai aneh.
“kamu
jangan pernah berfikir ka neo ga serius sama kamu. Kaka serius pengen nikahin
kamu jen”
“kalo
misal aku yang ga mau gimana ka?” kata-kata itu meluncur begitu saja.
“itu
hak kamu. Kaka juga ga bisa paksain perasaan kamu kan”
Antara senang dan bingung apa maksud
dari omongan ka neo barusan. Ka neo
ngelamar aku atau cuma sekedar omongan biar aku nunggu ka neo sampe aku lulus
kuliah. Ini kenyataan atau boongan. Setelah lulus kuliah menikah dengan ka neo?.
Kenapa harus menunggu
setelah lulus kuliah sih?. Aku
juga ingin seperti vidi yang sudah resmi menikah.
“dari
tadi kamu sering banget bengong”
“ka..
sebenernya jeni sayang sama kaka”
“kaka
tau jeni”
“terus?”
“terus
apa?”
“terus
sebenernya kaka perasaannya gimana sama jeni?”
“kaka
kan udah bilang. Kaka mau jeni jadi istri kaka. Setelah kamu lulus, kamu mau
kan jadi istri kaka?”
Menutup
mulutku sendiri seakan tidak percaya dengan apa yang diucapkan ka neo.
“aku
mau ka” aku bahagia sekali. Ka neo membawaku dalam pelukannya.
“eh!
Maaf” ka neo lantas melepas pelukannya. Dia membalikkan badan memunggungiku.
“ayo
ka pulang” ajakku menggandeng tangannya.
“neooooooo”
seorang wanita datang menghampiri kami dan lantas hampir memeluk ka neo kalau
tidak melihatku.
“riri”
“kamu
apa kabar?”
“baik,
lu sendiri sehat?”
“yah
beginilah gue, kerja dimana sekarang?”
“masih
yang dulu”
“owh..
betah nih..”
“yaah
betah ga betah”
“banyak
project dong yah?”
“project
mah pasti ada”
“jangan
– jangan udah naik jabatan?”
“ah..
masih jadi tukang satpam aja”
“ye
boong lu.. pas kapan gue ketemu ega, katanya lu udah bukan security jaringan,
katanya manager gitu”
Mereka seperti dekat sekali. Ingin aku ikut menimpali,
menjawab apa pekerjaan ka neo, tapi seperti tak ada celah untukku masuk. Ka neo
bekerja di salah satu perusahaan swasta, dia baru saja diangkat menjadi manager
disana, selain itu setiap sabtu dia menjadi dosen di kampusku. Laki-laki yang
diidam-idamkan wanita tentunya.
Ka neo sadar dengan keadaanku. Dia
menggerakkan tangannya, membuatku maju satu langkah.
“kenalin..
ni jeny”
“oh..
hai aku riri”
“jeni”
menyalami tangannya. Sepertinya riri tidak menyukai keberadaanku.
“ini...?”
riri menanyakan siapa aku kepada ka neo.
“yaah..
you know lah” ka neo menjawab singkat dengan seulas senyum diwajahnya.
Aku tak mengerti kenapa ka neo tidak menjawab aku calon
istrinya atau pacarnya misalnya. Kenapa dia hanya menjawab seperti itu.
“masih
kuliah ya?” riri menanyaiku
“iya...
tingkat akhir”
“owh.
Pantes.. kelihatan masih muda banget”
“terima
kasih”
“kalian
mau balik atau baru dateng?”
“ini
udah mau balik”
“yaah..
mending ikut aku. Kumpul bareng temen-temen aku dulu. Ga jauh ko. Disana..”
riri menunjuk suatu tempat.
“heeeeeeiiii”teriaknya
dengan tangan yang dilambai-lambaikan.
“siiiniii”
beberapa temannya menjawab dan ikut membalas lambaian tangan riri.
“gimana?”
ka neo meminta persetujuanku.
“ehmmm”
“gapapa
kan jen?” sebelum aku menjawab riri sudah memotongnya. Dari matanya dia ingin
sekali kami atau mungkin hanya ka neo ikut dengan nya.
“hmm”
anggukku mau.
“siiip”
riri kesenangan.
Kami
berjalan di belakang riri. Dari kejauhan kulihat ramai sekali disana. Mungkin
ada sekitar delapan orang. Pesta seafood, pikirku.
Kami duduk dengan beralas tikar dan
beratapkan langit dengan posisi melingkar, ka neo dan riri berada
disampingku. Menunggu makanan-makanan
yang sudah dipesan. Benar-benar pesta seafood. Semuanya dalam porsi besar dan
banyak.
“ini....”
riri mengambilkan beberapa makanan untuk ka neo. Dia tahu mana yang ka neo
sukai dan mana yang ka neo tidak suka. Aku sungguh risih berada di
tengah-tengah mereka.
Apa maksud riri melakukan hal tersebut. Kenapa dia
begitu peduli dengan ka neo. Kenapa dia tahu banyak tentang ka neo. Kenapa dia
selalu mendahuluiku ketika aku ingin mengambilkan makanan untuk ka neo. Siapa
dia?.
“kamu ga makan?” ka neo menanyaiku.
“ri...
ko kamu ga ambil makanan?” riri selalu mengikuti apa yang ka neo lakukan namun
benar-benar dengan perlakuan yang berbeda.
“mau
aku ambilin?” ka neo mengambil piringku namun riri menyerobotnya dan bertanya
kepadaku, aku ingin makan apa.
Aku
sungguh merasa aneh dengan riri.
“engga,
makasih ri, aku bisa ambil sendiri” aku mengambil piringku dari tangannya dan
meletakkannya kembali di mejaku.
Merasa
seharusnya aku tidak berada di tempat seperti ini. Kenapa aku tidak bisa
mengatakan lantang kalau aku tidak mau berada disini. Ka neo...
“ri..
ini yang namanya neo?” seorang temannya bertanya. Membuat yang lain
memperhatikan ka neo.
“iya..
ini neo. Yang gue ceritain ke kalian”
“owh...
hai.. gue jemi”
“gue
faisal”
Ka neo menyalami satu persatu teman riri. Aku sama
sekali tidak diperhatikan dan seperti tidak dianggap ada sama sekali.
Hari yang tadinya indah berubah dalam sekejap.
Pukul sepuluh malam, riri masih asyik mengajak ka neo
bercerita. Aku hanya bisa diam dan menjauh dari keramaian. Beberapa teman riri
masih bermain dengan ombak pantai dan pasir putih.
“Sendirian?”
seseorang menyapaku.
“e..
engga sama dia” aku menunjuk ka neo yang berada disamping riri.
“owh..
iya.. maksud aku, kamu sendirian aja disini?” dia sopan sekali.
“kenapa?”
tanyanya lagi.
“gapapa”
aku menunduk menatap kaki-kakiku yang terendam pasir.
“riri
emang gitu orangnya, santai aja” seolah tau apa yang kurasakan.
“dia
mantan pacarnya”
“owh..
pantes”
“lumayan
lama, tiga tahun” tanpa kupinta jemi menjelaskan sendiri.
“kalo
ga salah putus juga gara-gara riri ketauan selingkuh., tapi ga sepenuhnya salah
riri. Waktu itu neo lagi sibuk-sibuknya kuliah s2, hubungan long distance juga.
Ya.. neo nya sibuk sama urusan dia, riri nya juga ga bisa jaga. Yah putus deh.
Udah dua tahun baru sekarang mereka ketemu lagi”
Aku memperhatikan mereka dari
kejauhan. Sekali dua kali ka neo menyunggingkan senyuman yang indah. Apa aku
pernah membuatnya tersenyum seindah itu?.
“oh
iya.. aku jemi”
“jeni”
kami bersalaman.
“kamu?” dia menunjuk ka neo
“massih
belum siapa-siapanya” mengerti maksud pertanyaan jemi.
“hmm
kirain aku udah siapa-siapanya, atau apa-apanya gitu?”
“ha
ha ha” dia berhasil membuatku tertawa.
“jeni..
mau pulang?” ka neo sudah dihadapaku bersama dengan riri disebelahnya. Dia
menoleh ke arah jemi kemudian tiba-tiba menarik tanganku.
“aku
pulang dulu ya..makasi.. riri makasi”
Ka neo seperti marah. Dalam
perjalanan pulang dia sama sekali tidak mengajakku berbicara. Aku sendiri tidak
ingin berbicara dengannya.
0 komentar:
Posting Komentar