Dua
minggu yang penuh misteri. Diantara kami sama sekali tidak ada yang berniat
untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera. Aku tidak merasa ada yang salah
dari hubunganku dengan jemi. Kecemburuanku denngan riri juga meredup dengan
sendirinya. Kami bertemu, saling menyapa, masih sama dengan yang
sebelum-sebelumnya namun seperti ada sesuatu yang hilang. Setiap kali aku ingin
menjelaskannya ka neo mengalihkan pembicaraanku.
Aku harus menjelaskannya dengan cara
apa. Di satu sisi aku tahu dia cemburu dengan jemi. Meski aku ingin dia bisa
dekat dengan jemi sama seperti hubunganku dengan jemi namun rasanya tidak
mungkin. Ada sesuatu dari jemi yang membuatnya cemburu dan merasa kurang
didepanku. Dia cemburu namun dia menyikapinya dengan dewasa. Apakah arti dewasa
seperti yang kamu lakukan sekarang ini ka neo?, diam dan coba percaya kepadaku.
Meski kamu mengatakan kamu percaya kepadaku aku merasa ada keraguan darimu.
“jeni..”
“ya
bu..”
Minggu pagi, aku menyibukkan diri dengan
mawar-mawar yang kutanam
sendiri semenjak duduk dibangku kuliah. Berharap saat wisuda nanti aku
mendapati bunga-bungaku mekar.
“neo
ga dateng?”
“ga
tau bu..”
“dia
jarang ajak kamu pergi sekarang”
“mungkin
sibuk bu”
“sibuk
cari duit buat nikahin kamu kali” kakakku meledek.
Seharusnya ka neo datang hari ini.
Aku sudah berjanji akan mengenalkan ka neo dengan kakakku. Dengan sikon yang
seperti ini aku tidak mau membuat nya lebih keruh lagi. Lebih baik kami
sama-sama introspeksi diri, untuk kebaikan masing-masing tentunya. Semuanya
masih terlalu abu-abu. Meskipun aku yakin akan perasaanku padanya.
Meskipun ka neo menjanjikan
sesuatu kepadaku. Aku tidak mau larut dengan semua itu. Aku ingin berjalan dan
mengalir dengan sendirinya. Kalau sampai semua ini hanya keputusasaan, aku akan
sulit sekali melupakannya. Aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkannya dan mungkin tidak akan pernah bisa hilang. Paling tidak aku
bisa move on.
Ka neo laki-laki yang dewasa. Bagiku
dia sudah cukup umur dan cukup bisa untuk menafkahi wanita yang ingin dia
nikahi. Bagiku dia bisa saja memilih riri atau wanita lain dan segera
melamarnya. Aku harus bisa bersikap dewasa karena laki-laki yang kucintai
laki-laki yang sudah dewasa dan matang. Dia laki-laki yang pastinya merancang
sesuatu dengan pasti.
“kayanya
ada yang galau” kakakku duduk didekatku.
“kenapa?”
tanya nya lagi.
“terkadang
aku ga ngerti sama pikiran orang-orang kaya kaka”
“aku?,
emang aku salah apa?” dia menunjuk dirinya sendiri.
“iya..
laki-laki seumuran kalian, sebenernya laki-laki yang emang udah dewasa atau
pura-pura dewasa?”
“neo?”
“salah
satunya”
“ribut?”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“selingkuh?”
“menurutku
dia ga selingkuh ka. Tapi aku pengen dia bisa bikin aku yakin. Trus juga disisi
akunya. Aku pengen dia dengerin penjelasan aku”
“kamu
selingkuh”
“ga
juga. Ya intinya lagi salah paham”
“susah
kalo yang satunya nutup komunikasi”
“ya
kan.. ka neo ga bilang dia ga percaya sama aku. Kita tetep pulang bareng,
ketemu, ngobrol tapi aku ngerasa ada yang beda dari dia”
“takut”
“iya..”
“berarti
kamu yang belum percaya sama dia de”
“trus
harusnya?”
“percaya
sama dia de. Mungkin neo emang cemburu sama kamu. Tapi kalo dia tetep touch in
you. Dalam artian, dia tetep anterin kamu pulang, ngajak ngobrol walopun kamu
ngerasa ada yang kurang. Dia ga ngejauhin kamu. Dia ngajak ngobrol tapi setiap
kamu mau ngejelasin dia alihin ke hal yang lain atau bilang ga mau bahas tapi
tetep kasih tau keseharian dia ngapain aja. artinya dia emang ga mau bahas”
“tapi
aku takut ka”
“kamu
takut kalo dia cemburu sama jemi kan”
“iya..”
“percaya
sama dia. Mungkin yang terbaik emang ga harus dibahas kan. Lagipula buat apa
dibahas kalo misal abis ngebahas kalian berdua malah berantem?”
Aku
memikirkan perkataan kakakku. “iya ka” setuju dengan pendapatnya.
Mungkin ini memang yang terbaik
untuk saat ini. Bukan berarti hilang kepercayaan. Membatasi, membatasi agar
tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Aku jarang melihat ekspresi ka
neo saat marah, cemburu, sedih, kesal, dan lain-lain sebagainya dan aku memang
ngarep buat bisa liat itu semua. Buat bisa lebih deket lagi sama ka neo, tapi
aku juga ga mau jauh dari ka neo. Buat apa aku ngelakuin suatu hal kalo
hasilnya malah bikin aku sama ka neo berantem atau malah tambah salah paham.
“jen..
ada telefon dari neo”
“ciee..”
kakakku meledekku.
“baru
juga diomongin bu” dia berteriak memberitahu.
Ka
neo pasti mendengarnya, dasar, kakakku pasti sengaja biar ka neo denger.
“haloo”
“iyaa
haloo” suara ka neo.
“hape
kamu, kamu tinggal ya?”
“eh,
o iya ka.. iya dikamar”
“pantes,
ka neo dari tadi nelefon sama whatsap kamu ga dibales-bales”
“yah..
maaf ka”
“yaudah
gapapa”
“kenapa
ka?”
“kamu
hari ini kosong?”
“kosong
tapi hari ini aku pengen ngabisin waktu dirumah sama kakak aku ka.. kenapa?”
“oh
gitu...” ka neo tidak menjawab pertanyaanku. Sama-sama diam.
“gimana
kalo kaka main kerumah. Kakakku pengen kenal ka neo. Katanya ada kemungkinan ka
neo kenalan kaka”
“hmmm..
yaudah, nanti jam sepuluh kaka dateng, kamu lagi pengen makan apa?” tanyanya
lagi.
Dia
masih saja menanyakan apa yang aku inginkan. Memperlakukanku dengan manja. Aku
sungguh senang dengan perhatianmu ka neo..
“ko
diem?, mikirin apa?”
“mikirin
makanan ka..”
“hahaha..
dasar pipi gendut”’
“biarin..
dari pada kaka.. yang gendut perutnya. Ampe berlipet-lipet”
“wa..
songong ni ya”
“ehmm..
kaka gausah repot-repot. Nanti kaka masak masakan buatan aku aja”
“jadi
kamu nih yang masak?, beneran bukan ibu kamu?”
“yaiyalah..
aku kan gini-gini bisa masak, dikiittt, baru mulai belajar”
“iya
deh bu koki. Masaknya jangan gosong lagi”
“hahahaha..
tapi tetep aja dimakan abis ma kaka” ingat dengan hari dimana aku membuatkannya
bekal untuk makan siangnya dikantor. Telur yang kugoreng agak sedikit gosong.
Aku memberitahu keluargaku tentang niat ka Neo yang akan datang kerumah.
Ka
neo datang membawa kue dan buah. Dia masih saja repot membawakan sesuatu untuk
keluargaku. Mungkin dia malu kalau datang dengan tangan kosong.
Kedatangan ka neo yang tadinya
untukku sekarang didominasi kakakku. Mereka asik bermain di kamar kakakku, entah mereka mengobrol tentang apa, maklum teman lama. Yaah
sesekali mengalah. Sudah sewajarnya kalau ka neo memang berniat serius denganku
dia pasti melakukan pendekatan dengan lingkunganku dan juga keluargaku.
“sana
anterin air sama makanan
ke kamar kakakmu” ibu mengingatkan. Di atas meja makan tergeletak kue, buah,
jus yang sudah siap diantar.
“nanti
aja bu” aku masih sibuk dengan pohon mawarku. Memotong daun dan ranting yang
layu dengan gunting. Membuatnya terlihat lebih rapih.
“anak
gadis disuruh ibunya ngga nurut nih”
“iyaa-iyaa”
aku beranjak ke dapur dan mengantarkan camilan untuk kakakku dan juga ka neo.
“tok
tok, kaaa”
“ya
jen.. masuk aja” suara kakakku dari balik pintu.
Aku
masuk pelan-pelan, ka neo memberikan seulas senyum kepadaku. Kangennyaaa sama senyuman itu.
Kangen sekali dengan ka neo.
“taruh
situ aja” seakan menyuruhku untuk segera pergi. Aku menuruti perintah kakakku
dan segera meninggalkan mereka berdua.
Belum juga ngobrol sama ka neo.
Kakakku udah bawa dia ke kamar dia. Curaaaang.
“ckreek”
suara pintu kakakku terbuka. Ka neo keluar. Aku tersenyum melihatnya. dia
berjalan mendekatiku dan mengusap rambutku pelan.
“kangen”
ucapnya singkat.
“nanti
kita makan berdua aja diluar ya” ka neo membisikkannya di telingaku.
“huum”
mengangguk setuju, seperti kebiasaanku dan pergi meninggalkannya.
Ini baru ka neo yang aku kenal.
Sudah dua minggu ini dia baru mengelus rambutku sekarang. Dari caranya bicara
juga sudah kembali seperti biasa. Aku juga kangen kamu ka neo, berbicara dalam
hati.
“neo..
kamu ga makan dulu?”
“ga
tante.. aku makan diluar aja. om tante, aku minta ijin ajak jeni keluar boleh?”
tanyanya sopan.
Ayahku
melihat jam tangannya. “jangan terlalu malam pulangnya ya” memberikan kami
ijin.
Kami
lantas berpamitan dan pergi. Dia dan kakakku dalam sekejap sudah seperti
sahabat. Membuat salam tos seperti anak kecil.
“jagain
adik gue yang bawel ya”
“tenang
bro”
“ga
jelas” melirik keduanya aneh.
“ha
ha ha”
Ka neo mengajakku makan malam
ditempat baru lagi. Ini sudah keberapa kalinya dia mengajakku pergi
ketempat-tempat yang baru. Apa aku yang terlalu kuper apa dia yang terlalu
gaul.
“maafin
kaka ya..” aku menatapnya. Kenapa malah ka neo yang meminta maaf sama aku.
“kaka
udah salah paham sama kamu” aku masih menunggu kelanjutannya.
“kamu
mungkin ngira kaka orangnya dewasa dan lain-lain tapi.. kaka sebenernya
pencemburu. Kaka males banget liat kamu sama jemi deket. Udah gitu kepala kamu
dielus dia. Kaka bener-bener ga suka. Awalnya kaka pengen belajar ngerti aja,
gausah meledak-ledak. Usaha buat percaya sama kamu dan ga usah bahas ataupun
apalah. Kaka pengen jadi kaya yang kamu pengenin tapi nyatanya ga bisa. Tetep
aja kaka masih kayak
anak kecil mungkin malah lebih bocah dari sikap kamu. Kamu aja bisa ngehendel
rasa cemburu kamu sama riri masa kaka ga bisa ngehendel rasa cemburu kaka sama
jemi”
Aku
tertawa senang sekali mendengar penjelasannya. Dia terlihat seperti anak kecil.
Sisi yang baru aku ketahui sekarang. Bahagianya melihat sisi nya yang lain.
“malah
diketawain” ka neo menarik pipiku.
“aadddoow
saakitt” ka neo melepas cubitannya dan mengelus kepalaku lagi.
“aaaaa”
kali ini ka neo menyuapiku.
“seharusnya
kaka bisa dengerin penjelasanku waktu itu”
“kaka
ga mau ribut”
“kita
emang ga ribut, tapi dua minggu aku ngerasa aneh ma kaka”
“iyaaaa..
makanya kaka minta maaf”
“ga
diterima”
“permintaan
maaf ditolak nih?”
“satu
syaratnya... traktir aku makan eskrim”
“ha
ha ha.. dasar anak kecil” seharian ini, ini ketiga kalinya ka neo mengelus
kepalaku.
Puspa
dan desy beberapa kali memperhatikanku dan ka neo. “kamu dari tadi ngapain ama
ka neo?, pake bahasa kalbu?” beberapa kali di kelas dan juga di luar kelas aku
dan ka neo saling bertatapan. Terlihat seperti mengucapkan sesuatu, menurut
desy dan puspa. Ternyata mereka menangkap bahasaku dengan ka neo. Kami memang
saling mengirimi pesan dan saat kami tidak sengaja bertemu kami saling menatap
penuh dengan senyuman.
“bahagia
banget nih pasangan”
“ssssttt”
menutup bibir puspa. Sejauh ini hubunganku dan ka neo memang sudah banyak yang
mengetahuinya namun aku tidak ingin membuatnya menjadi heboh.
Ka neo kembali berjalan melewatiku.
Dia menunjuk lengannya beberapa kali mengingatkanku.
“mang
mau kemana?, jam berapa?” desy mewawancaraiku.
“bukannya
nanti kamu bantuin gue ma puspa buat skripsi kita?”
“lu
janjian kemana?” puspa ikut mewawancaraiku.
“hhehe..”
“tuh
kan.. jeni... kan lu janji hari ini mau bantu kita berdua. Gimana si lu”
“hhahaha”
“ketawa
bae..” puspa sewot.
“lagian...
sok teu sih... maksud dia tadi itu....,
dia .... ada deh. Rahasia.. nanti kita tetep jadilah. Kan gue udah janji ma
kalian”
“hmm
kirain..”
“syukurdeh,
gue takut kalo gue sampe ga lulus”
Bunga-bunga
itu tumbuh dihatiku ka neo. Bunga-bungamu... berwarna warni.
0 komentar:
Posting Komentar