20 Jan 2015

BUNGA (chapter 13 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

Dua minggu yang penuh misteri. Diantara kami sama sekali tidak ada yang berniat untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera. Aku tidak merasa ada yang salah dari hubunganku dengan jemi. Kecemburuanku denngan riri juga meredup dengan sendirinya. Kami bertemu, saling menyapa, masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya namun seperti ada sesuatu yang hilang. Setiap kali aku ingin menjelaskannya ka neo mengalihkan pembicaraanku.
            Aku harus menjelaskannya dengan cara apa. Di satu sisi aku tahu dia cemburu dengan jemi. Meski aku ingin dia bisa dekat dengan jemi sama seperti hubunganku dengan jemi namun rasanya tidak mungkin. Ada sesuatu dari jemi yang membuatnya cemburu dan merasa kurang didepanku. Dia cemburu namun dia menyikapinya dengan dewasa. Apakah arti dewasa seperti yang kamu lakukan sekarang ini ka neo?, diam dan coba percaya kepadaku. Meski kamu mengatakan kamu percaya kepadaku aku merasa ada keraguan darimu.
“jeni..”
“ya bu..”
            Minggu pagi, aku menyibukkan diri dengan mawar-mawar yang kutanam sendiri semenjak duduk dibangku kuliah. Berharap saat wisuda nanti aku mendapati bunga-bungaku mekar.
“neo ga dateng?”
“ga tau bu..”
“dia jarang ajak kamu pergi sekarang”
“mungkin sibuk bu”
“sibuk cari duit buat nikahin kamu kali” kakakku meledek.
            Seharusnya ka neo datang hari ini. Aku sudah berjanji akan mengenalkan ka neo dengan kakakku. Dengan sikon yang seperti ini aku tidak mau membuat nya lebih keruh lagi. Lebih baik kami sama-sama introspeksi diri, untuk kebaikan masing-masing tentunya. Semuanya masih terlalu abu-abu. Meskipun aku yakin akan perasaanku padanya. Meskipun ka neo menjanjikan sesuatu kepadaku. Aku tidak mau larut dengan semua itu. Aku ingin berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Kalau sampai semua ini hanya keputusasaan, aku akan sulit sekali melupakannya. Aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkannya dan mungkin tidak akan pernah bisa hilang. Paling tidak aku bisa move on.
            Ka neo laki-laki yang dewasa. Bagiku dia sudah cukup umur dan cukup bisa untuk menafkahi wanita yang ingin dia nikahi. Bagiku dia bisa saja memilih riri atau wanita lain dan segera melamarnya. Aku harus bisa bersikap dewasa karena laki-laki yang kucintai laki-laki yang sudah dewasa dan matang. Dia laki-laki yang pastinya merancang sesuatu dengan pasti.
“kayanya ada yang galau” kakakku duduk didekatku.
“kenapa?” tanya nya lagi.
“terkadang aku ga ngerti sama pikiran orang-orang kaya kaka”
“aku?, emang aku salah apa?” dia menunjuk dirinya sendiri.
“iya.. laki-laki seumuran kalian, sebenernya laki-laki yang emang udah dewasa atau pura-pura dewasa?”
“neo?”
“salah satunya”
“ribut?”
“engga.. lagi hilang kepercayaan aja”
“selingkuh?”
“menurutku dia ga selingkuh ka. Tapi aku pengen dia bisa bikin aku yakin. Trus juga disisi akunya. Aku pengen dia dengerin penjelasan aku”
“kamu selingkuh”
“ga juga. Ya intinya lagi salah paham”
“susah kalo yang satunya nutup komunikasi”
“ya kan.. ka neo ga bilang dia ga percaya sama aku. Kita tetep pulang bareng, ketemu, ngobrol tapi aku ngerasa ada yang beda dari dia”
“takut”
“iya..”
“berarti kamu yang belum percaya sama dia de”
“trus harusnya?”
“percaya sama dia de. Mungkin neo emang cemburu sama kamu. Tapi kalo dia tetep touch in you. Dalam artian, dia tetep anterin kamu pulang, ngajak ngobrol walopun kamu ngerasa ada yang kurang. Dia ga ngejauhin kamu. Dia ngajak ngobrol tapi setiap kamu mau ngejelasin dia alihin ke hal yang lain atau bilang ga mau bahas tapi tetep kasih tau keseharian dia ngapain aja. artinya dia emang ga mau bahas”
“tapi aku takut ka”
“kamu takut kalo dia cemburu sama jemi kan”
“iya..”
“percaya sama dia. Mungkin yang terbaik emang ga harus dibahas kan. Lagipula buat apa dibahas kalo misal abis ngebahas kalian berdua malah berantem?”
Aku memikirkan perkataan kakakku. “iya ka” setuju dengan pendapatnya.
            Mungkin ini memang yang terbaik untuk saat ini. Bukan berarti hilang kepercayaan. Membatasi, membatasi agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Aku jarang melihat ekspresi ka neo saat marah, cemburu, sedih, kesal, dan lain-lain sebagainya dan aku memang ngarep buat bisa liat itu semua. Buat bisa lebih deket lagi sama ka neo, tapi aku juga ga mau jauh dari ka neo. Buat apa aku ngelakuin suatu hal kalo hasilnya malah bikin aku sama ka neo berantem atau malah tambah salah paham.
“jen.. ada telefon dari neo”
“ciee..” kakakku meledekku.
“baru juga diomongin bu” dia berteriak memberitahu.
Ka neo pasti mendengarnya, dasar, kakakku pasti sengaja biar ka neo denger.
“haloo”
“iyaa haloo” suara ka neo.
“hape kamu, kamu tinggal ya?”
“eh, o iya ka.. iya dikamar”
“pantes, ka neo dari tadi nelefon sama whatsap kamu ga dibales-bales”
“yah.. maaf ka”
“yaudah gapapa”
“kenapa ka?”
“kamu hari ini kosong?”
“kosong tapi hari ini aku pengen ngabisin waktu dirumah sama kakak aku ka.. kenapa?”
“oh gitu...” ka neo tidak menjawab pertanyaanku. Sama-sama diam.
“gimana kalo kaka main kerumah. Kakakku pengen kenal ka neo. Katanya ada kemungkinan ka neo kenalan kaka”
“hmmm.. yaudah, nanti jam sepuluh kaka dateng, kamu lagi pengen makan apa?” tanyanya lagi.
Dia masih saja menanyakan apa yang aku inginkan. Memperlakukanku dengan manja. Aku sungguh senang dengan perhatianmu ka neo..
“ko diem?, mikirin apa?”
“mikirin makanan ka..”
“hahaha.. dasar pipi gendut”’
“biarin.. dari pada kaka.. yang gendut perutnya. Ampe berlipet-lipet”
“wa.. songong ni ya”
“ehmm.. kaka gausah repot-repot. Nanti kaka masak masakan buatan aku aja”
“jadi kamu nih yang masak?, beneran bukan ibu kamu?”
“yaiyalah.. aku kan gini-gini bisa masak, dikiittt, baru mulai belajar”
“iya deh bu koki. Masaknya jangan gosong lagi”
“hahahaha.. tapi tetep aja dimakan abis ma kaka” ingat dengan hari dimana aku membuatkannya bekal untuk makan siangnya dikantor. Telur yang kugoreng agak sedikit gosong.

            Aku memberitahu keluargaku tentang niat ka Neo yang akan datang kerumah.
Ka neo datang membawa kue dan buah. Dia masih saja repot membawakan sesuatu untuk keluargaku. Mungkin dia malu kalau datang dengan tangan kosong.
            Kedatangan ka neo yang tadinya untukku sekarang didominasi kakakku. Mereka asik bermain di kamar kakakku, entah mereka mengobrol tentang apa, maklum teman lama. Yaah sesekali mengalah. Sudah sewajarnya kalau ka neo memang berniat serius denganku dia pasti melakukan pendekatan dengan lingkunganku dan juga keluargaku.
“sana anterin air sama makanan ke kamar kakakmu” ibu mengingatkan. Di atas meja makan tergeletak kue, buah, jus yang sudah siap diantar.
“nanti aja bu” aku masih sibuk dengan pohon mawarku. Memotong daun dan ranting yang layu dengan gunting. Membuatnya terlihat lebih rapih.
“anak gadis disuruh ibunya ngga nurut nih”
“iyaa-iyaa” aku beranjak ke dapur dan mengantarkan camilan untuk kakakku dan juga ka neo.
“tok tok, kaaa”
“ya jen.. masuk aja” suara kakakku dari balik pintu.
Aku masuk pelan-pelan, ka neo memberikan seulas senyum kepadaku. Kangennyaaa sama senyuman itu. Kangen sekali dengan ka neo.
“taruh situ aja” seakan menyuruhku untuk segera pergi. Aku menuruti perintah kakakku dan segera meninggalkan mereka berdua.
            Belum juga ngobrol sama ka neo. Kakakku udah bawa dia ke kamar dia. Curaaaang.
“ckreek” suara pintu kakakku terbuka. Ka neo keluar. Aku tersenyum melihatnya. dia berjalan mendekatiku dan mengusap rambutku pelan.
“kangen” ucapnya singkat.
“nanti kita makan berdua aja diluar ya” ka neo membisikkannya di telingaku.
“huum” mengangguk setuju, seperti kebiasaanku dan pergi meninggalkannya.
            Ini baru ka neo yang aku kenal. Sudah dua minggu ini dia baru mengelus rambutku sekarang. Dari caranya bicara juga sudah kembali seperti biasa. Aku juga kangen kamu ka neo, berbicara dalam hati.
“neo.. kamu ga makan dulu?”
“ga tante.. aku makan diluar aja. om tante, aku minta ijin ajak jeni keluar boleh?” tanyanya sopan.
Ayahku melihat jam tangannya. “jangan terlalu malam pulangnya ya” memberikan kami ijin.
Kami lantas berpamitan dan pergi. Dia dan kakakku dalam sekejap sudah seperti sahabat. Membuat salam tos seperti anak kecil.
“jagain adik gue yang bawel ya”
“tenang bro”
“ga jelas” melirik keduanya aneh.
“ha ha ha”
            Ka neo mengajakku makan malam ditempat baru lagi. Ini sudah keberapa kalinya dia mengajakku pergi ketempat-tempat yang baru. Apa aku yang terlalu kuper apa dia yang terlalu gaul.
“maafin kaka ya..” aku menatapnya. Kenapa malah ka neo yang meminta maaf sama aku.
“kaka udah salah paham sama kamu” aku masih menunggu kelanjutannya.
“kamu mungkin ngira kaka orangnya dewasa dan lain-lain tapi.. kaka sebenernya pencemburu. Kaka males banget liat kamu sama jemi deket. Udah gitu kepala kamu dielus dia. Kaka bener-bener ga suka. Awalnya kaka pengen belajar ngerti aja, gausah meledak-ledak. Usaha buat percaya sama kamu dan ga usah bahas ataupun apalah. Kaka pengen jadi kaya yang kamu pengenin tapi nyatanya ga bisa. Tetep aja kaka masih kayak anak kecil mungkin malah lebih bocah dari sikap kamu. Kamu aja bisa ngehendel rasa cemburu kamu sama riri masa kaka ga bisa ngehendel rasa cemburu kaka sama jemi”
Aku tertawa senang sekali mendengar penjelasannya. Dia terlihat seperti anak kecil. Sisi yang baru aku ketahui sekarang. Bahagianya melihat sisi nya yang lain.
“malah diketawain” ka neo menarik pipiku.
“aadddoow saakitt” ka neo melepas cubitannya dan mengelus kepalaku lagi.
“aaaaa” kali ini ka neo menyuapiku.
“seharusnya kaka bisa dengerin penjelasanku waktu itu”
“kaka ga mau ribut”
“kita emang ga ribut, tapi dua minggu aku ngerasa aneh ma kaka”
“iyaaaa.. makanya kaka minta maaf”
“ga diterima”
“permintaan maaf ditolak nih?”
“satu syaratnya... traktir aku makan eskrim”
“ha ha ha.. dasar anak kecil” seharian ini, ini ketiga kalinya ka neo mengelus kepalaku.
           
            Puspa dan desy beberapa kali memperhatikanku dan ka neo. “kamu dari tadi ngapain ama ka neo?, pake bahasa kalbu?” beberapa kali di kelas dan juga di luar kelas aku dan ka neo saling bertatapan. Terlihat seperti mengucapkan sesuatu, menurut desy dan puspa. Ternyata mereka menangkap bahasaku dengan ka neo. Kami memang saling mengirimi pesan dan saat kami tidak sengaja bertemu kami saling menatap penuh dengan senyuman.
“bahagia banget nih pasangan”
“ssssttt” menutup bibir puspa. Sejauh ini hubunganku dan ka neo memang sudah banyak yang mengetahuinya namun aku tidak ingin membuatnya menjadi heboh.
            Ka neo kembali berjalan melewatiku. Dia menunjuk lengannya beberapa kali mengingatkanku.
“mang mau kemana?, jam berapa?” desy mewawancaraiku.
“bukannya nanti kamu bantuin gue ma puspa buat skripsi kita?”
“lu janjian kemana?” puspa ikut mewawancaraiku.
“hhehe..”
“tuh kan.. jeni... kan lu janji hari ini mau bantu kita berdua. Gimana si lu”
“hhahaha”
“ketawa bae..” puspa sewot.
“lagian... sok teu sih... maksud dia tadi itu...., dia .... ada deh. Rahasia.. nanti kita tetep jadilah. Kan gue udah janji ma kalian”
“hmm kirain..”
“syukurdeh, gue takut kalo gue sampe ga lulus”
            Bunga-bunga itu tumbuh dihatiku ka neo. Bunga-bungamu... berwarna warni. 

0 komentar:

Posting Komentar