Satu minggu ini vidi tidak masuk
kuliah. Aku dan kedua sahabatku selalu mampir kerumahnya. Menjenguknya dan
menemaninya agar tidak bosan. Kami juga mengkopikan file materi kuliah kami ke
komputernya. Dia tidak bisa meminta sertu untuk selalu menemaninya setiap
waktu. Paham betul tidak bisa selalu manja kepada sertu dan harus bisa mengerti
pekerjaan sertu. Mungkin karena ini kehamilan pertama untuk vidi, dia baru
sekali ini merasakan hal-hal yang baru sekali ini dialaminya.
Dua jam kami disini vidi sudah
mondar-mandir sampai dua puloh kalian lebih ke kamar mandi.
“uuuh
mual banget nih”
“coba
searching-searching di internet” aku memijit-mijit pelan leher vidi. Tidak tega
melihatnya seperti ini. Menjadi Ibu hamil ternyata bisa semenderita ini.
“disini
tertulis, kalo penyebab ibu hamil mual itu karena dia kelebihan hormon
azzzzzz... mending lu baca sendiri deh jen..., panjang banget....” desy menjauh
dari leptopnya dan memberikannya kepadaku.
“emang
kenapa?”
“gua
nggak ngerti sama bahasanya,
gue kan paling ga bisa kalo pelajaran ini”
Aku
mulai membaca beberapa artikel yang ditampilkan, setelah membaca beberapa artikel,
memang sebaiknya vidi dibawa ke dokter kandungan untuk check up.
Kami bertiga menemani vidi check up hari itu. Melihat
perkembangan calon keponakan kami kelak. Sudah lebih dari baik.
Vidi sudah meminum beberapa obat yang diberikan Pa Dokter. Desy kembali kumat
dengan kecentelinannya. Kali ini dokter kandungan yang menangani vidi. Dia
selalu tertarik dengan laki-laki yang dia anggap tampan dan memiliki pekerjaan
yang mulia dimatanya. Sulit sekali untuk desy tertarik dengan teman-temannya
sendiri, padahal kalau desy tidak terlalu pilah-pilih, ada beberapa teman yang
seumuran dengan kami yang menyukainya dan mengindeksikan kalau mereka ingin
serius dengannya.
Sementara desy dan puspa mengambil
mobil menuju parkiran, aku menemani vidi pergi ke kamar mandi. Kemudian kembali
menyusuri gedung rumah sakit menuju parkiran.
“JEN!”
seseorang memanggilku dari kejauhan dan berlari kearah kami. Dia mengenakan jas
putih layaknya seorang dokter.
“jemi?”
aku tidak percaya, melihatnya mengenakan jas dokter.
“kamu
dokter?” tanyaku lagi
“trus???,
toko yang waktu itu?”
“iseng”
dia menjawabnya santai.
“hai..”
jemi menyapa vidi. Vidi membalas sekenanya.
“abis
check up?” tanyanya
“iya...
akhir-akhir ini vidi mual lebih parah”
“hmm”
“tadi
dengan Pa Yunus? Atau..??” jemi menanyakan nama dokter yang merawat vidi.
“Bu
Aisya”
“tapi
sekarang udah mendingan” vidi melanjutkan.
“kamu?”
aku menanyai nya
“dokter
kandungan” jawab jemi santai
“azz
kenapa baru bilang sekarang,coba dari kemarin bilangnya, kan gue bisa nanya ke lu”
senewen dengan jemi.
“kalo
gitu, besok-besok gue control sama lu aja”
“itu
mah gampang, tapi sekarang udah lebih baik kan di?” tanyanya sopan.
“iya”
“dijaga
baik-baik kandungannya. Kalo emang ada keluhan atau ada sesuatu jangan segen
buat hubungi aku yah jen”
“eh!
Ko aku?”
“kan
kamu tugasnya jagain vidi”
Setelah itu, setiap kontrol vidi
selalu ditangani oleh jemi. Aku menjadi sering bertemu dan berbicara dengan
jemi, menanyakan kandungan vidi.
Kamu masih di rumah
sakit? Ka neo mengirimiku whatsap singkat
Iya,
ada jemi disini. Dia dokter kandungan
Kebetulan banget
Huum
Vidi baru saja keluar dari ruangan
jemi. Sekarang kesehatannya lebih membaik. Aku jarang menerima kelohan kalau
dia masih sering mual-mual. Suaminya sertu sedang pergi ke singapura untuk
mengerjakan pekerjaan jadilah aku sebagai satpam untuk vidi.
“nanti
malam mau keluar?” jemi memulai percakapannya denganku
“kemana?”
“kemana
aja, yang penting asik”
“maaf
jem, gue ga bisa”
“ok”
Vidi mendengar percakapanku dengan
jemi. Setiap kami selesai kontrol vidi selalu mengatakan kalau jemi memiliki
perasaan kepadaku. Membuatku sedikit agak senang tetapi juga mulai merasakan
risih.
Aku tidak mau mengkhianati
perasaanku kepada ka neo. Ka neo sudah mempercayakan banyak hal kepadaku, jadi
aku harus bisa membalasnya dengan hal baik pula.
“lama-lama
aku bisa bilang kamu mendingan sama jemi deh”
“ya
ga gitu juga kali di, emangnya aku segitu matrenya”
“kalo
matre, lu mah udah pasti milih ka neo”
“iii
enak aja. trus karena milih ka neo, lu bilang gue matre?”
“hhahaha,
ga juga sih.”
“trus?”
“emang
susah ya jen dijelasin kalo udah masalah perasaan”
“nahh
itu...”
Malamnya aku menginap di rumah vidi.
Lelah sekali menemani kemanapun vidi pergi. Bersyukur aku dilahirkan menjadi
seorang wanita bukan laki-laki.
“Gubrak!!”
aku terbangun dan kulihat vidi tidak ada disampingku. Membuka selimutku dan
terburu-buru mencari dimana vidi. Takut terjadi sesuatu dengannya.
“viiiidiii!”
aku berlari menuju vidi yang terjatuh di lantai.
“di..
bangun..” vidi tak sadarkan diri. Terburu-buru mengambil handphone, tanpa pikir
panjang langsung menghubungi jemi.
Jemi datang dengan mobil ambulan.
Tim ambulan dengan cekatan membawa vidi kedalam mobil. Aku ikut duduk
dibelakang memegang tangan vidi yang begitu lemah.
“kayanya
dia kecapean banget jen. Apa vidi bekerja?”
“engga,
tapi dia hobi banget beresin rumah akhir-akhir ini”
“dia
kecapean jen. Seharusnya tugas rumah tangga atau yang lain jangan terlalu
dipaksain,
soalnya badan vidi itu lemah banget,
apalagi dia lagi hamil. Makanan yang dia makan aja dibagi dua. Buat janinnya
juga. Makanya dia harus bisa lebih menjaga diri lagi lebih baik.
Dalam ambulance aku menghubungi
sertu, ka neo, dan dua sahabatku. Aku sungguh takut terjadi sesuatu yang tidak
aku inginkan. Ingin sekali ada seseorang
menemaniku saat ini yang mampu mengusir segala kecemasanku.
Aku terbangun. Semalaman tanpa sadar
aku ketiduran di tempat duduk di ruangan kamar vidi.
Bermaksud membeli kopi dipagi ini.
Membuka dan menutup pintu dengan pelan. Aku tidak mau vidi terbangun karenaku.
“pok”
bau seseorang yang sangat kuhafal. Sebuah topi yang terbuat dari wol dia
kenakan di kepalaku. Aku lantas berbalik dan tersenyum kepadanya.
“ka
neo..”
“kamu
mau kemana?”
“kopi..
kaka baru datang atau dari semalem?” tanyaku. Ka neo tidak menjawab
pertanyaanku. Dia diam dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak ingin
mempermasalahkannya. Tidak mau ribut dengannya, melihat kondisi vidi saat ini,
aku tidak mau terlarut dengan egoku sendiri.
Ka neo duduk berjauhan denganku.
Terasa sekali ada yang berbeda dengannya. Disaat aku membutuhkan seseorang
untuk menguatkanku. Agar aku bisa tenang dengan apa yang sedang menimpa vidi,
agar aku bisa selalu ada disampingnya ketika sertu tidak bisa berada
disampingnya. Semuanya seperti sirna tanpa jejak.
“ikut
aku” ka neo membawaku ketaman yang masih sepi yang ada di halaman rumah sakit.
“aku
ga suka”
“apa?,
aku ga ngerti, maksud ka neo itu apa?”
“kamu
semalem tidur di pundak jemi” dia memalingkan wajahnya
“...”
aku tidak tahu harus menjawab apa
“aku
ga suka kamu deket sama jemi. Apalagi sampai kaya semalem”
“aku
ga sadar ka semalem. Aku cape banget”
“itu
bukan alasan jen”
“iya..
maaf ka”
Ada percikan senang saat melihat ka
neo seperti ini. Ka neo cemburu dengan jemi. Kukira dia sama sekali tidak
memiliki perasaan cemburu dengan teman-temanku.
“kaka...
kamu cemburu?, artinya kamu bener-bener sayang sama aku... makasi ya ka”
menggandeng tangannya
“maafin
aku, aku ga sengaja.. jangan marah ..” ka neo masih saja diam.
“yaudah
deh, kalo kamu masih marah...ayok masuk” dengan menggandeng tangan ka neo, aku
mengajaknya masuk ke tempat vidi.
Dari luar kaca, kulihat sertu sudah
didalam. Dia duduk dengan tangan yang
menggenggam erat
tangan vidi. Ada raut kecemasan dan kesedihan di wajahnya. Aku tidak
mau masuk dan menggangggu mereka.
Tak lama kemudian jemi melintasiku
dan ka neo. Menyapa kami sekenanya dan masuk kedalam ruangan dengan beberapa
suster. Memeriksa vidi. Entah pertanyaan apa yang sertu tanyakan kepada jemi,
yang membuat jemi lama sekali di dalam ruangan. Melihat jemi yang keluar dari
kamar vidi, aku berdiri dan menanyainya.
Menurutnya vidi semakin membaik dan
sebaiknya sudah tidak usah disibukkan dengan kegiatan kuliah atau pekerjaan rumah
tangga. Dia membutuhkan banyak waktu untuk istirahat dan waktu untuk refreshing agar tidak
stress.
Merasa senang dengan apa yang diucapkan
jemi aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Berusaha menjaga jarak agar ka neo
tidak terlalu cemburu.
Kurang lebih aku mengerti bagaimana
rasanya kalau aku jadi ka neo sekarang. Aku sudah pernah mengalaminya dan
sering mengalaminya jika itu ka neo. Sekarang ka neo yang sedang mengalaminya.
Aku masih sangat mengantuk. Menutupi
mulutku beberapa kali karena masih saja menguap. “kamu masih ngantuk” akhirnya
ka neo berbicara dan merapihkan poniku.
“lumayan
ka..”
“mau
istirahat di rumah ku?, ga jauh dari sini”
“rumah
kaka?”
“iya..”
“kaka
ga tinggal satu rumah lagi sama orang tua kaka”
“kamu
lupa ya?, rumah sakit ini kan dekat rumah orang tua kaka”
“o
iya ya.. lupa ka...”
Ka neo mengantarku ke rumahnya. Baru
beberapa menit di mobilnya aku sudah tertidur pulas.
Aku terbangun disebuah ruangan yang
sama sekali tidak kukenali sebelumnya sampai kulihat sebuah foto dimana ada aku
dan ka neo. Ini kamar ka neo. Terlalu rapih untuk ukuran lelaki kantoran yang
sibuk yang juga dosen.
Tunggu, aku ketiduran berapa jam
disini?, ka neo ga ngapa-ngapain aku kan?, beranjak bangun dan mencari ka neo.
Ngaca dulu, aku ga mau keliatan jelek banget nanti kalo ketemu ka neo. Pergi ke
kamar mandi dan membasuh wajahku. Berkeliling di rumah ka neo. Sama sekali
tidak menemukannya. Jangan-jangan aku ditinggal sendiri dirumahnya, apa dia
beli makanan keluar?.
Mencari
ponselku dan menghubunginya. “ka neo?” aku menyapanya langsung saat dia
mengangkat telefonnya. Bukan suara ka neo yang kudengar melainkan suara riri.
Jelas kudengar ka neo merebut ponselnya dari tangan riri.
“halo”
“ka
neo?”
“jen..
jangan salah paham dulu, kamu baru bangun?, ka neo balik sekarang”
“apa
maksudnya ini?”
Ka neo memutus telefonku. Aku sama
sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Kenapa riri bersama ka
neo. Kurang dari sepuluh menit ka neo kembali. Aku duduk menunggunya di ruang
tamunya.
“jeni”
dia berlari terburu-buru untuk menemuiku.
“syukur
kamu masih dirumah”
“maksudnya
apa?” pertanyaanku cukup singkat.
“ka
neo Cuma mau kamu ga salah paham lagi sama riri. Tadi ka neo ga sengaja ketemu
dia di supermarket, trus ngobrol sebentar. Ka neo pergi sebentar buat ambil
pesenan kaka. Waktu kamu telefon dia langsung main angkat”
“itu
sebabnya tadi kaka bertengkar dengan dia?”
“iya”
“jangan-jangan
kaka masih sering ketemu dia?” pertanyaanku keluar begitu saja.
“engga
jen”
“aku
ngerasa ada yang aneh sama kaka dari kemarin”
Drrrt...ponselku
berdering. Jemi. Ka neo melihatnya jelas di layar ponselku. Aku mengambilnya
dari atas meja dan mengangkat telefon jemi. Memunggungi ka neo tanpa bermaksud
apa-apa.
“apa?”
“iya..”
“gue
kesana sekarang”
Ka
neo menunggu penjelasanku. Menanyaiku kenapa dia menelefonku.
“kita
kerumah sakit sekarang”
“kamu
aja, aku ga ikut” ka neo duduk. Aku pergi meninggalkannya.
Perasaan ini seakan sedang diuji.
Kepercayaanku dan kepercayaannya. Kenapa ada wanita yang tidak kusukai yang
masih menganggunya dan kenapa ka neo harus cemburu dengan jemi. Kenapa
laki-laki sebaik jemi harus dia permasalahkan hanya karena sering menghubungiku.Seharusnya
dia mendengarkan penjelasanku. Kecemburuannya saat ini tidak lebih penting dari
nyawa vidi dan bayinya. Kenapa ka neo begitu egois. Berbagai pertanyaan muncul
dikepalaku. aku tidak begitu mengerti dengan jalan pikiran ka neo.
Di depan sebuah kamar, sertu, desy,
dan puspa berdiri tegang. Usia kandungan vidi tujuh bulan dan dia sekarang
sedang berjuang untuk melahirkannya. Yang kudengar dari jemi, saat vidi turun
dari ranjangnya bermaksud pergi kekamar mandi dia terpeleset dan mengakibatkan
air tubannya pecah karenanya harus dilakukan operasi secepatnya.
Aku sungguh mengkhawatirkan vidi.
Berharap dia dan bayinya baik-baik saja. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang
membuatnya sedih. Berharap semuanya berakhir bahagia.
Dua jam terasa sangat lama namun
mendapatkan hasil yang membahagiakan. Vidi dan bayinya selamat. Tidak ada kabar
yang lebih baik dari itu untuk saat ini.
“syukurlah”
desy memeluk puspa, kami bertiga saling berpelukan dan mengucapkan selamat
kepada sertu. Jemi keluar paling pertama dari ruangan operasi. Aku mendekatinya
dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia menyunggingkan senyuman dan
mengacak-acak rambutku.
“jen..”
puspa menggoyangkan bahuku.
“ya
pus?”
Aku
melihat siapa yang dilihat oleh puspa. Disana berdiri ka neo. Dia melihatku dan
jemi. Membawa seikat bunga dan jatuh begitu saja. Tanpa mengatakan apapun dia
pergi meninggalkanku.
0 komentar:
Posting Komentar