20 Jan 2015

BADAI (chapter 12 Novel 'Sabtu yang kutunggu')

            Satu minggu ini vidi tidak masuk kuliah. Aku dan kedua sahabatku selalu mampir kerumahnya. Menjenguknya dan menemaninya agar tidak bosan. Kami juga mengkopikan file materi kuliah kami ke komputernya. Dia tidak bisa meminta sertu untuk selalu menemaninya setiap waktu. Paham betul tidak bisa selalu manja kepada sertu dan harus bisa mengerti pekerjaan sertu. Mungkin karena ini kehamilan pertama untuk vidi, dia baru sekali ini merasakan hal-hal yang baru sekali ini dialaminya.
            Dua jam kami disini vidi sudah mondar-mandir sampai dua puloh kalian lebih ke kamar mandi.
“uuuh mual banget nih”
“coba searching-searching di internet” aku memijit-mijit pelan leher vidi. Tidak tega melihatnya seperti ini. Menjadi Ibu hamil ternyata bisa semenderita ini.
“disini tertulis, kalo penyebab ibu hamil mual itu karena dia kelebihan hormon azzzzzz... mending lu baca sendiri deh jen..., panjang banget....” desy menjauh dari leptopnya dan memberikannya kepadaku.
“emang kenapa?”
“gua nggak ngerti sama bahasanya, gue kan paling ga bisa kalo pelajaran ini
            Aku mulai membaca beberapa artikel yang ditampilkan, setelah membaca beberapa artikel, memang sebaiknya vidi dibawa ke dokter kandungan untuk check up.
Kami bertiga menemani vidi check up hari itu. Melihat perkembangan calon keponakan kami kelak. Sudah lebih dari baik. Vidi sudah meminum beberapa obat yang diberikan Pa Dokter. Desy kembali kumat dengan kecentelinannya. Kali ini dokter kandungan yang menangani vidi. Dia selalu tertarik dengan laki-laki yang dia anggap tampan dan memiliki pekerjaan yang mulia dimatanya. Sulit sekali untuk desy tertarik dengan teman-temannya sendiri, padahal kalau desy tidak terlalu pilah-pilih, ada beberapa teman yang seumuran dengan kami yang menyukainya dan mengindeksikan kalau mereka ingin serius dengannya.
            Sementara desy dan puspa mengambil mobil menuju parkiran, aku menemani vidi pergi ke kamar mandi. Kemudian kembali menyusuri gedung rumah sakit menuju parkiran.
“JEN!” seseorang memanggilku dari kejauhan dan berlari kearah kami. Dia mengenakan jas putih layaknya seorang dokter.
“jemi?” aku tidak percaya, melihatnya mengenakan jas dokter.
“kamu dokter?” tanyaku lagi
“trus???, toko yang waktu itu?”
“iseng” dia menjawabnya santai.
“hai..” jemi menyapa vidi. Vidi membalas sekenanya.
“abis check up?” tanyanya
“iya... akhir-akhir ini vidi mual lebih parah”
“hmm”
“tadi dengan Pa Yunus? Atau..??” jemi menanyakan nama dokter yang merawat vidi.
“Bu Aisya”
“tapi sekarang udah mendingan” vidi melanjutkan.
“kamu?” aku menanyai nya
“dokter kandungan” jawab jemi santai
“azz kenapa baru bilang sekarang,coba dari kemarin bilangnya, kan gue bisa nanya ke lu” senewen dengan jemi.
“kalo gitu, besok-besok gue control sama lu aja”
“itu mah gampang, tapi sekarang udah lebih baik kan di?” tanyanya sopan.
“iya”
“dijaga baik-baik kandungannya. Kalo emang ada keluhan atau ada sesuatu jangan segen buat hubungi aku yah jen”
“eh! Ko aku?”
“kan kamu tugasnya jagain vidi”
            Setelah itu, setiap kontrol vidi selalu ditangani oleh jemi. Aku menjadi sering bertemu dan berbicara dengan jemi, menanyakan kandungan vidi.
Kamu masih di rumah sakit? Ka neo mengirimiku whatsap singkat
Iya, ada jemi disini. Dia dokter kandungan
Kebetulan banget
Huum
            Vidi baru saja keluar dari ruangan jemi. Sekarang kesehatannya lebih membaik. Aku jarang menerima kelohan kalau dia masih sering mual-mual. Suaminya sertu sedang pergi ke singapura untuk mengerjakan pekerjaan jadilah aku sebagai satpam untuk vidi.
“nanti malam mau keluar?” jemi memulai percakapannya denganku
“kemana?”
“kemana aja, yang penting asik”
“maaf jem, gue ga bisa”
“ok”
            Vidi mendengar percakapanku dengan jemi. Setiap kami selesai kontrol vidi selalu mengatakan kalau jemi memiliki perasaan kepadaku. Membuatku sedikit agak senang tetapi juga mulai merasakan risih.
            Aku tidak mau mengkhianati perasaanku kepada ka neo. Ka neo sudah mempercayakan banyak hal kepadaku, jadi aku harus bisa membalasnya dengan hal baik pula.
“lama-lama aku bisa bilang kamu mendingan sama jemi deh”
“ya ga gitu juga kali di, emangnya aku segitu matrenya”
“kalo matre, lu mah udah pasti milih ka neo”
“iii enak aja. trus karena milih ka neo, lu bilang gue matre?”
“hhahaha, ga juga sih.”
“trus?”
“emang susah ya jen dijelasin kalo udah masalah perasaan”
“nahh itu...”
            Malamnya aku menginap di rumah vidi. Lelah sekali menemani kemanapun vidi pergi. Bersyukur aku dilahirkan menjadi seorang wanita bukan laki-laki.
“Gubrak!!” aku terbangun dan kulihat vidi tidak ada disampingku. Membuka selimutku dan terburu-buru mencari dimana vidi. Takut terjadi sesuatu dengannya.
“viiiidiii!” aku berlari menuju vidi yang terjatuh di lantai.
“di.. bangun..” vidi tak sadarkan diri. Terburu-buru mengambil handphone, tanpa pikir panjang langsung menghubungi jemi.
            Jemi datang dengan mobil ambulan. Tim ambulan dengan cekatan membawa vidi kedalam mobil. Aku ikut duduk dibelakang memegang tangan vidi yang begitu lemah.
“kayanya dia kecapean banget jen. Apa vidi bekerja?”
“engga, tapi dia hobi banget beresin rumah akhir-akhir ini”
“dia kecapean jen. Seharusnya tugas rumah tangga atau yang lain jangan terlalu dipaksain, soalnya badan vidi itu lemah banget, apalagi dia lagi hamil. Makanan yang dia makan aja dibagi dua. Buat janinnya juga. Makanya dia harus bisa lebih menjaga diri lagi lebih baik.
            Dalam ambulance aku menghubungi sertu, ka neo, dan dua sahabatku. Aku sungguh takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Ingin sekali ada seseorang menemaniku saat ini yang mampu mengusir segala kecemasanku.
            Aku terbangun. Semalaman tanpa sadar aku ketiduran di tempat duduk di ruangan kamar vidi.
            Bermaksud membeli kopi dipagi ini. Membuka dan menutup pintu dengan pelan. Aku tidak mau vidi terbangun karenaku.
“pok” bau seseorang yang sangat kuhafal. Sebuah topi yang terbuat dari wol dia kenakan di kepalaku. Aku lantas berbalik dan tersenyum kepadanya.
“ka neo..”
“kamu mau kemana?”
“kopi.. kaka baru datang atau dari semalem?” tanyaku. Ka neo tidak menjawab pertanyaanku. Dia diam dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak ingin mempermasalahkannya. Tidak mau ribut dengannya, melihat kondisi vidi saat ini, aku tidak mau terlarut dengan egoku sendiri.
            Ka neo duduk berjauhan denganku. Terasa sekali ada yang berbeda dengannya. Disaat aku membutuhkan seseorang untuk menguatkanku. Agar aku bisa tenang dengan apa yang sedang menimpa vidi, agar aku bisa selalu ada disampingnya ketika sertu tidak bisa berada disampingnya. Semuanya seperti sirna tanpa jejak.
“ikut aku” ka neo membawaku ketaman yang masih sepi yang ada di halaman rumah sakit.
“aku ga suka”
“apa?, aku ga ngerti, maksud ka neo itu apa?”
“kamu semalem tidur di pundak jemi” dia memalingkan wajahnya
“...” aku tidak tahu harus menjawab apa
“aku ga suka kamu deket sama jemi. Apalagi sampai kaya semalem”
“aku ga sadar ka semalem. Aku cape banget”
“itu bukan alasan jen”
“iya.. maaf ka”
            Ada percikan senang saat melihat ka neo seperti ini. Ka neo cemburu dengan jemi. Kukira dia sama sekali tidak memiliki perasaan cemburu dengan teman-temanku.
“kaka... kamu cemburu?, artinya kamu bener-bener sayang sama aku... makasi ya ka” menggandeng tangannya
“maafin aku, aku ga sengaja.. jangan marah ..” ka neo masih saja diam.
“yaudah deh, kalo kamu masih marah...ayok masuk” dengan menggandeng tangan ka neo, aku mengajaknya masuk ke tempat vidi.
            Dari luar kaca, kulihat sertu sudah didalam. Dia duduk dengan tangan yang menggenggam erat tangan vidi. Ada raut kecemasan dan kesedihan di wajahnya. Aku tidak mau masuk dan menggangggu mereka.
            Tak lama kemudian jemi melintasiku dan ka neo. Menyapa kami sekenanya dan masuk kedalam ruangan dengan beberapa suster. Memeriksa vidi. Entah pertanyaan apa yang sertu tanyakan kepada jemi, yang membuat jemi lama sekali di dalam ruangan. Melihat jemi yang keluar dari kamar vidi, aku berdiri dan menanyainya.
            Menurutnya vidi semakin membaik dan sebaiknya sudah tidak usah disibukkan dengan kegiatan kuliah atau pekerjaan rumah tangga. Dia membutuhkan banyak waktu untuk istirahat dan waktu untuk refreshing agar tidak stress.
            Merasa senang dengan apa yang diucapkan jemi aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Berusaha menjaga jarak agar ka neo tidak terlalu cemburu.
            Kurang lebih aku mengerti bagaimana rasanya kalau aku jadi ka neo sekarang. Aku sudah pernah mengalaminya dan sering mengalaminya jika itu ka neo. Sekarang ka neo yang sedang mengalaminya.
            Aku masih sangat mengantuk. Menutupi mulutku beberapa kali karena masih saja menguap. “kamu masih ngantuk” akhirnya ka neo berbicara dan merapihkan poniku.
“lumayan ka..”
“mau istirahat di rumah ku?, ga jauh dari sini”
“rumah kaka?”
“iya..”
“kaka ga tinggal satu rumah lagi sama orang tua kaka”
“kamu lupa ya?, rumah sakit ini kan dekat rumah orang tua kaka”
“o iya ya.. lupa ka...”
            Ka neo mengantarku ke rumahnya. Baru beberapa menit di mobilnya aku sudah tertidur pulas.
            Aku terbangun disebuah ruangan yang sama sekali tidak kukenali sebelumnya sampai kulihat sebuah foto dimana ada aku dan ka neo. Ini kamar ka neo. Terlalu rapih untuk ukuran lelaki kantoran yang sibuk yang juga dosen.
            Tunggu, aku ketiduran berapa jam disini?, ka neo ga ngapa-ngapain aku kan?, beranjak bangun dan mencari ka neo. Ngaca dulu, aku ga mau keliatan jelek banget nanti kalo ketemu ka neo. Pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Berkeliling di rumah ka neo. Sama sekali tidak menemukannya. Jangan-jangan aku ditinggal sendiri dirumahnya, apa dia beli makanan keluar?.
Mencari ponselku dan menghubunginya. “ka neo?” aku menyapanya langsung saat dia mengangkat telefonnya. Bukan suara ka neo yang kudengar melainkan suara riri. Jelas kudengar ka neo merebut ponselnya dari tangan riri.
“halo”
“ka neo?”
“jen.. jangan salah paham dulu, kamu baru bangun?, ka neo balik sekarang”
“apa maksudnya ini?”
            Ka neo memutus telefonku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Kenapa riri bersama ka neo. Kurang dari sepuluh menit ka neo kembali. Aku duduk menunggunya di ruang tamunya.
“jeni” dia berlari terburu-buru untuk menemuiku.
“syukur kamu masih dirumah”
“maksudnya apa?” pertanyaanku cukup singkat.
“ka neo Cuma mau kamu ga salah paham lagi sama riri. Tadi ka neo ga sengaja ketemu dia di supermarket, trus ngobrol sebentar. Ka neo pergi sebentar buat ambil pesenan kaka. Waktu kamu telefon dia langsung main angkat”
“itu sebabnya tadi kaka bertengkar dengan dia?”
“iya”
“jangan-jangan kaka masih sering ketemu dia?” pertanyaanku keluar begitu saja.
“engga jen”
“aku ngerasa ada yang aneh sama kaka dari kemarin”
Drrrt...ponselku berdering. Jemi. Ka neo melihatnya jelas di layar ponselku. Aku mengambilnya dari atas meja dan mengangkat telefon jemi. Memunggungi ka neo tanpa bermaksud apa-apa.
“apa?”
“iya..”
“gue kesana sekarang”
Ka neo menunggu penjelasanku. Menanyaiku kenapa dia menelefonku.
“kita kerumah sakit sekarang”
“kamu aja, aku ga ikut” ka neo duduk. Aku pergi meninggalkannya.
            Perasaan ini seakan sedang diuji. Kepercayaanku dan kepercayaannya. Kenapa ada wanita yang tidak kusukai yang masih menganggunya dan kenapa ka neo harus cemburu dengan jemi. Kenapa laki-laki sebaik jemi harus dia permasalahkan hanya karena sering menghubungiku.Seharusnya dia mendengarkan penjelasanku. Kecemburuannya saat ini tidak lebih penting dari nyawa vidi dan bayinya. Kenapa ka neo begitu egois. Berbagai pertanyaan muncul dikepalaku. aku tidak begitu mengerti dengan jalan pikiran ka neo.
            Di depan sebuah kamar, sertu, desy, dan puspa berdiri tegang. Usia kandungan vidi tujuh bulan dan dia sekarang sedang berjuang untuk melahirkannya. Yang kudengar dari jemi, saat vidi turun dari ranjangnya bermaksud pergi kekamar mandi dia terpeleset dan mengakibatkan air tubannya pecah karenanya harus dilakukan operasi secepatnya.
            Aku sungguh mengkhawatirkan vidi. Berharap dia dan bayinya baik-baik saja. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang membuatnya sedih. Berharap semuanya berakhir bahagia.
            Dua jam terasa sangat lama namun mendapatkan hasil yang membahagiakan. Vidi dan bayinya selamat. Tidak ada kabar yang lebih baik dari itu untuk saat ini.
“syukurlah” desy memeluk puspa, kami bertiga saling berpelukan dan mengucapkan selamat kepada sertu. Jemi keluar paling pertama dari ruangan operasi. Aku mendekatinya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia menyunggingkan senyuman dan mengacak-acak rambutku.
“jen..” puspa menggoyangkan bahuku.
“ya pus?”

Aku melihat siapa yang dilihat oleh puspa. Disana berdiri ka neo. Dia melihatku dan jemi. Membawa seikat bunga dan jatuh begitu saja. Tanpa mengatakan apapun dia pergi meninggalkanku.

0 komentar:

Posting Komentar